REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Fakhruddin*
Tinggal hitungan hari kita akan memasuki hari raya Idul Adha 1441 Hijriyah. Seiring dengan mulai berdatangannya calon jamaah haji di Tanah Suci. Tahun ini, Arab Saudi telah mengumumkan pelaksanaan haji dengan jumlah jamaah yang terbatas, hanya 10 ribu jamaah. Hal ini berkaitan dengan menyebarnya pandemi Covid-19 di seluruh dunia.
Jamaah yang diizinkan merupakan warga negara asing yang tinggal di Kerajaan Saudi, maupun warga Saudi itu sendiri. Pembagian kuota yang disetujui merupakan 70 persen untuk ekspatriat, sementara sisanya untuk warga Saudi yang sebagian besar berasal dari sektor medis dan militer. Sehingga hanya warga negara Indonesia atau mukimin yang sudah di Tanah Suci yang bisa ikut haji tahun ini, dengan seleksi dari penyelenggara haji Arab Saudi.
Calon jamaah haji di Tanah Air yang gagal berangkat tahun ini tentu tetap harus menyambut Idul Adha di Tanah Air dengan suka cita di tengah pandemi Covid-19. Rasulullah SAW sebenarnya telah menjelaskan beberapa amal ibadah yang jika dilakukan dengan penuh keikhlasan dan secara baik akan diberikan pahala oleh Allah SWT seperti pahala orang yang melaksanakan haji dan umroh. Amalan sederhana tersebut di antaranya: pertama, pergi ke masjid untuk melaksanakan sholat wajib berjamaah; kedua, pergi ke masjid untuk belajar atau mengajarkan kebaikan; ketiga, mengamalkan ibadah dengan cara bertasbih, bertahmid, dan bertakbir sebanyak 33 kali setelah sholat wajib; keempat, sholat Subuh berjamaah lalu menunggu terbit matahari sambil berzikir dan melaksanakan sholat dua rakaat setelah waktunya tiba atau disebut sholat Isyroq; dan kelima berbakti kepada orang tua.
Di tengah pandemi Covid-19, para calon jamaah haji, alumni haji, dan kaum Muslim diharapkan lebih meningkatkan kesalehan sosialnya dengan berqurban dan membantu sesama dan mereka yang terdampak pandemi Covid-19. Apalagi, para calon jamaah haji dikategorikan sebagai orang mampu baik secara materi maupun secara fisik karena salah satu syarat wajib haji adalah istithaah yang artinya mampu.
Para ulama terutama di kalangan mazhab al-Malikiyah dan Asy-syafi'iyah telah menetapkan standar orang yang mampu berqurban. Al-Malikiyah memberikan standar mampu ialah memiliki uang 30 dinar setara dengan Rp 60 juta dan Asy Syafi'iyah ialah mampu membeli hewan qurban dan mampu menafkahi keluarganya terhitung 4 hari sejak penyembelihan.
Hukum ibadah qurban itu adalah sunah muakkadah. Sunah yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan. Abu Hurairah berkata bahwa Rasul SAW bersabda: “Barangsiapa telah memiliki kelapangan (rezeki) dan tidak berqurban, maka janganlah dia mendekati tempat shalat kami.” (HR Ibnu Majah no 3123)
Oleh karena itu, kaum Muslimin terutama calon jamaah haji yang masuk kategori mampu dianjurkan untuk berqurban di Tanah Air. Sehingga, kendati belum berangkat ke Tanah Suci semoga dapat meraih pahala berhaji di Tanah Air.
Calon jamaah haji yang gagal berangkat juga dapat mempersiapkan diri lebih matang sampai menunggu keberangkatan haji tahun depan. Dari sisi penyelenggaraan ibadah haji, penundaan perangkat tahun ini dapat memberi kesempatan kepada pemerintah untuk memperbaiki kualitas penyelenggaraan haji. Salah satunya dapat berbenah dari sisi pendaftaran haji yang belum dilakukan secara online. Sebenarnya Kemenag sudah merancang pendaftaran secara mobile dan online, namun masih terkendala regulasi. Apalagi saat pandemi seperti saat ini, pendaftaran jamaah di kantor Kemenag dibatasi hanya lima jamaah per harinya, sebagai dampak tidak adanya pendaftaran secara mobile dan online.
Jika regulasi tersebut sudah terbit, maka pendaftaran haji bisa dilakukan lebih fleksibel. Calon jamaah haji bisa memanfaatkan layanan mobile yang akan ditempatkan di sejumlah titik, sehingga tidak harus ke Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota setempat. Ke depannya, pendaftaran haji bisa dilakukan secara online.
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id