REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Isu radikalisme yang kerap dihembuskan dan menyudutkan umat Islam bukanlah barang baru. Radikalisme tak ada hubungannya dengan Islam, namun keberadaannya justru membayangi dunia pendidikan terutama perguruan tinggi.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB IKA PMII) Ahmad Muqowam membenarkan, bahwa isu radikalisme sudah lama dihembuskan. Di lingkup dunia pendidikan utamanya di perguruan-perguruan tinggi favorit, radikalisme bertumbuh.
“Secara kurikuler, modulasi mata kuliah di kampus-kampus favorit ini memang tidak ada yang mengarah pada konten radikalisme,” kata Ahmad dalam Rapat Pleno ke-68 Dewan Pertimbangan MUI, melalui Zoom Meeting, Selasa (28/7).
Namun demikian, kata dia, radikalisme muncul dan terjadi di dalam gerakan luar kampus. Untuk itu dia menyarankan kepada perguruan tinggi untuk memiliki lembaga fungsional yang khusus menangani radikalisme sebab keberadaan radikalisme di wilayah kampus bukan hanya isapan jempol semata.
Di sisi lain dalam rapat tersebut, muncul diskusi mengenai relevansi Program Organisasi Penggerak (POP) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dengan menekan radikalisme di lingkup pendidikan. Sebagaimana diketahui, POP Kemendikbud didesain untuk melaksanakan kegiatan pelatihan guru dan kepala sekolah.
Belakangan diketahui, program tersebut menuai kontroversi lantaran mengikutsertakan dua yayasan perusahaan raksasa seperti Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation yang menerima anggaran dengan kategori gajah alias super besar dengan masing-masing menerima Rp 20 miliar. Atas hal ini, sejumlah ormas Islam dan PGRI mundur dari program tersebut.
Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dari Kemendikbud, Ahmad Tholkhah, mengatakan bahwa di dalam naskah kurikulum 2013 tidak ada penekanan sama sekali mengenai aspek radikalisme. Apabila terdapat penelitian-penelitian yang mengaitkan radikalisme, kata dia, hal itu umumnya dikaitkan dengan aspek-aspek lain.
Adapun mengenai POP, secara detail pihaknya tidak mengetahui lebih jauh mengenai penyusunan dan teknisnya ataupun relevansinya dengan penangkalan radikalisme di lingkup pendidikan. Dengan mundurnya sejumlah ormas seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dari program tersebut, ia pun tidak bisa mengungkapkan lebih detail bagaimana kelanjutan permasalahan tersebut.