REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) memaparkan beberapa strategi yang dapat dilakukan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan guru di sejumlah daerah. Ia mengingatkan pemerintah agar tidak mengalihkan aparatur sipil negara (ASN) tenaga administrasi untuk mengisi kekurangan guru.
"Karena sudah pasti mereka ini tidak ada pengalaman mengajar. Jadi bayangkan saja kalau mendidik itu diserahkan kepada orang yang tidak bersekolah di sana," ujar Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Satriwan Salim saat dihubungi Republika, Senin (3/8).
Menurut dia, masih banyak cara yang bisa ditempuh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan guru, seperti memperbanyak rekrutmen pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK/P3K). Persoalannya, guru honorer yang sudah lolos seleksi menjadi guru PPPK pada 2019 sebanyak 34.954 orang pun belum jelas nasibnya.
Padahal, kata Satriwan, mereka sudah lolos seleksi nasional, tetapi tak kunjung diangkat oleh pemerintah pusat. Alasannya Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) belum memiliki anggaran untuk menggaji PPPK.
"Pemerintah terkesan diskriminatif memperlakukan antara guru PPPK dengan guru PNS yang murni," kata Satriwan.
Cara pemenuhan kebutuhan guru melalui rekrutmen PPPK sedikit membantu di samping pemerintah terus membuka rekrutmen guru dari penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) setiap tahunnya. Sementara, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengajukan kebutuhan guru sebanyak 700 ribu.
Kekurangan kebutuhan guru itu dapat disiasati pemerintah dengan menambah alokasi pendidikan profesi guru (PPG) prajabatan. Menurut Satriwan, dengan PPG, calon-calon guru dapat segera memiliki sertifikat pendidik dan mengajar di sekolah, baik melalui CPNS, PPPK, maupun honorer profesional.
Selain itu, pemerintah juga dapat memaksimalkan koordinasi dengan Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) yang mencetak guru. Apalagi sekarang, LPTK di bawah Kemendikbud, seharusnya koordinasi lebih mudah.
Menurutnya, Kemendikbud melalui LPTK dapat menerapkan konsep mayor-minor, satu orang guru dapat mengajar dua mata pelajaran sekaligus. Misalnya, seorang guru mengampu PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) sebagai mayornya, juga mengajar sejarah sebagai minornya.
Namun, Satriwan meminta, pemerintah menertibkan LPTK abal-abal atau kampus abal-abal. Hal ini terkait mewujudkan kualitas guru terbaik.
Di samping itu, pemerintah perlu memetakan kebutuhan guru di setiap daerah di Indonesia. Pemerintah juga perlu menyinkronkan data pemetaan antarkementerian/lembaga, antara pemerintah daerah, Kemendikbud, Kemenpan-RB, Kemendikbud, dan Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Satriwan mengatakan, Kemendikbud menyatakan tidak kekurangan guru karena ukurannya perbandingan rasio jumlah murid dan guru secara nasional di semua jenjang pendidikan. Sedangkan, menurut dia, kebutuhan guru harus dihitung per daerah. Sebab, ada daerah yang dapat memenuhi kebutuhan gurunya seperti DKI Jakarta dengan konsep Kontrak Kerja Individu (KKI) yang gajinya jauh di atas guru honorer di daerah setara UMP.
Sedangkan, beberapa daerah lainnya seperti daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) menghadapi kekurangan guru. Satriwan menuturkan, lima tahun ke depan dengan angka pensiun tinggi, pemerintah harus segera membuka lebar rekrutmen guru.
"Kalau tidak sekolah dan daerah terus merekrut guru-guru honorer. Daerah butuh guru, tenaga guru, bagaimana caranya, ya merekrut guru honorer dan pendapatan yang adanya itu. Persoalan guru honorer akan begitu terus. Tetapi pusat tidak merekrut guru atau belum," kata Satriwan.