REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Maya Sandita
"Amak tak peduli padamu, Bujang. Amak tak akan lagi peduli.” Kata-kata itu jadi gumam yang dalam, jadi igau setiap malam.
Enam dari sepuluh anak Amak sekarang mengelilingi tubuh wanita tua yang terbaring lemah sebulan ini. Beberapa di antaranya ada yang tak bisa pulang sebab merantau terlalu jauh dari Kota Padang. Sakit yang diderita wanita 84 tahun ini sudah lama. Dua atau tiga tahun sudah terasa, tapi tak begitu menyiksa. Jadi, ketika ngilu persendiannya, sesak napasnya, atau sakit kepalanya terasa, Amak hanya minum obat generik lalu tidur di kasur.
Kesehatan Amak makin menurun setiap hari, tapi ia menolak ke rumah sakit. "Amak tak mau disuntik setiap hari oleh dokter," katanya.
"Ditahan ya, Mak, sakitnya. Kalau tidak diobati, kapan Amak sembuhnya?" bujuk anak bungsunya. Amak memberengut.
Fatimah meninggalkan Amak di kamar setelah kehabisan akal membujuk sang ibu. Ia temui kakak-kakaknya yang menunggu di ruang tamu.
"Bagaimana?" tanya kakaknya yang nomor dua, Fitri namanya.
"Amak tidak mau." Fatimah, Fitri, dan empat anak Amak yang lain menatap ke arah yang entah. Mata mereka basah. Hati mereka gelisah.
"Amak tidak peduli padamu, Bujang."
Terdengar suara dari kamar. Semua mata saling berpandangan.
Bujang anak kesayangan. Amak memanggilnya `Bujang Sayang' sejak ia dilahirkan, meski Ayah sudah memberinya nama Rizal. Hari itu Bujang tidak bersama saudaranya yang lain. Ia di Pekanbaru sejak tiga bulan kemarin. Persis sebelum Amak terbaring lemah dan berita itu sampai ke rumah.
"Mak, ini Murni. Uda Bujang sudah seminggu tidak pulang. Terakhir ia kirim pesan. Katanya Murni ia ceraikan. Talak tiga." Suara itu penuh isak dan tangis yang membeludak.
Murni, istri kedua Bujang setelah pernikahan pertamanya dengan Arin. Perceraiannya dengan Arin bersebab pertengkaran atas banyak hal hingga perceraian tak lagi dapat dielakkan. Pertengkaran setiap kali dibubuhi ucap cerai yang tidak hanya sekali. Kini Arin dan lima anak perempuan Bujang sudah punya kepala keluarga yang lain. Tak jadi pelajaran bagi Bujang, lagi-lagi kandas itu pernikahan. Kali ini Murni betul-betul jadi korban.
"Uda Bujang pergi bawa semua uang, Mak. Murni ditinggalkan sendirian. Kemarin sore yang punya kontrakan sudah menagih uang sewa. Murni tidak makan sudah dua hari lamanya. Tolonglah Murni, Mak. Di sini Murni tak punya saudara."
Masih bisa Amak minta Fatimah untuk menghubungi Bujang. Amak masih punya tenaga untuk menasihati anak yang tentunya ia sayang. Namun, sesuatu meledak dari seberang telepon. Bujang berkata ucapan Murni fitnah saja. Sepeser pun uang Murni tak dibawanya.
"Bujang punya uang sendiri!" katanya.
Bujang mengatakan talak tiga sudah ia jatuhkan. Pada Murni ia tak akan pernah kembali.
"Kalau sudah diusir oleh pemilik kontrakan, tinggal pulang saja ke kampungnya, selesai kan?" sambungnya lagi.
"Kau tak bisa membuangnya begitu saja. Dulu kau menjemput Murni ke rumah orang tuanya. Sekarang jika tak ada lagi rasa suka, antarkan ia kembali ke rumahnya."
"Bujang tidak menjemput Murni. Ia yang datang sendiri dan mendesak minta dinikahi! Bukankah Bujang tidak ke kota lain setelah bercerai dengan Arin?"
"Kau punya banyak anak perempuan, Bujang. Coba kau bayangkan jika mereka diperlakukan begini oleh orang. Dicampakkan saja seperti binatang saat pasangannya tak lagi sayang."
Bujang tak mau mendengarkan kata Amak. Menurut dia, dialah yang benar dan ucapan Murni hanya fitnah yang sudah dirancangnya dalam otak. Amak bicara tak henti-henti hingga marah menjadi-jadi.
"Sekarang terserah kau, Bujang. Amak tak peduli lagi!" Amak memutus panggilan. Ia duduk di kursi panjang di teras depan. Air matanya mendadak bercucuran. Fatimah memintanya masuk ke rumah.
"Tidak enak dilihat tetangga kalau Amak berurai air mata," katanya.
Mak menurut, tapi baru satu dua langkah kakinya menuju pintu, ia rebah. Keras pekik Fatimah.
Ida, anak pertama Amak berusaha menghubungi Bujang. Ia hendak mengatakan Amak sudah dibawa ke rumah sakit berulang-ulang. Memang tidak menginap karena Amak selalu minta pulang.
Ia ingin dirawat di rumah saja. Begitu permintaannya, tapi kondisi Amak semakin memburuk dari hari ke hari. Yanti dan Rauf sudah datang dari Kalimantan tadi pagi.
Tinggal Bujang seorang anak Amak yang kotanya dekat, tapi belum datang. Padahal jarak Pekanbaru ke Padang tak menghabiskan lebih dari satu siang.
Ida kehabisan cara. Telepon tak diangkat oleh adiknya. Saudara lain sudah pernah mencoba, tapi tak ada yang sekuat Ida yang tahan telinganya mendengar Bujang yang marah-marah dari seberang telepon sana.
"Kita bilang yang baik, malah kita dihardik. Daripada tambah sedih ini hati, lebih baik tak usah ditelepon lagi. Kita beri tahu malah dibilang menunjuk jari," keluh Yanti.
Pada kakaknya yang ini juga begitu, Yanti. Erna sang kakak yang lahir tiga tahun lebih dulu dari Bujang menimpali.
Saudara lainnya mengatakan hal yang hampir sama. Jadi, Ida berjuang sendiri.
Meski sampai malam pukul sembilan, tak juga ada jawaban. Ia memutuskan kembali ke kamar, membantu Yanti dan Erna mengemasi baju mereka ke dalam tas besar.