REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 Kementerian Riset dan Teknologi/BRIN Prof Ali Ghufron Mukti mengatakan "profesor" bukan sebuah gelar melainkan jabatan akademik tertinggi bagi dosen dan peneliti.
"Kalau gelar bisa diberikan. Ini tidak. Harus melalui proses. Dosen adalah suatu profesor yang luar biasa. Tidak boleh disalahartikan," kata Ghufron dalam bincang-bincang Satuan Tugas Penanganan COVID-19 yang disiarkan akun Youtube BNPB Indonesia dari Graha BNPB Jakarta, Kamis (6/8).
Mantan Wakil Menteri Kesehatan itu mengatakan ada kesalahan terkait dengan jabatan profesor di masyarakat Indonesia, termasuk di kalangan akademisi sendiri, sampai-sampai terdapat candaan bahwa gelar profesor harus disematkan pada diri seseorang sampai yang bersangkutan meninggal.
Padahal, dalam praktik akademik di luar negeri, seseorang yang sudah tidak lagi mengajar dan tidak menjadi dosen sudah tidak bisa bisa lagi disebut sebagai profesor.
"Profesor harus dosen, harus mendidik. Menjalankan Tridharma Perguruan Tinggi, termasuk memiliki rekam jejak dan publikasi ilmiah. Selain dosen, yang bisa menjadi profesor adalah peneliti," tuturnya.
Karena itu, gelar atau jabatan profesor tidak bisa asal saja disematkan pada seseorang, bila dia bukan seorang dosen atau peneliti yang sudah memenuhi sejumlah persyaratan yang ditetapkan tersebut.
Sementara itu, anggota Tim Penilai Penilaian Angka Kredit Dosen Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Prof Sutikno mengatakan untuk bisa menjabat sebagai profesor, seorang dosen harus memenuhi kecukupan minimal 850 angka kredit. Seorang dosen yang ingin menjadi profesor harus memiliki karya ilmiah yang dipublikasikan melalui jurnal internasional yang bereputasi.