REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Katib Aam Pengurus Besar Nadlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf mengatakan, pihaknya tetap mengikuti Program Organisasi Penggerak (POP) setelah ada klarifikasi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Gus Yahya menemui Mendikbud Nadiem Makariem, Kamis (6/8), untuk menyampaikan sikap PBNU terkait keikutsertaan dalam program POP.
Gus Yahya mengatakan, pertemuannya dengan Mendikbud atas persetujuan Rais Aam dan Ketua Umum PBNU. Pertemuan dua pihak itu mendiseminasikan hasil rapat PBNU pada Selasa (4/8), soal kelanjutan mengikuti POP. Dia mengatakan, keputusan PBNU itu menimbang dua hal klarifikasi dari Kemendikbud soal POP.
"Pertama, POP bukan program yang bersifat akar rumput tapi lebih bersifat laboratorial. Memang sudah ada klarifikasi dari Mendikbud sebelumnya bahwa dengan POP ini sebenarnya Kemendikbud hanya bermaksud membeli model inovasi dari berbagai pihak yang menawarkan gagasan," katanya.
Klarifikasi kedua, kata dia, pelaksanaan POP dimulai bulan Januari 2021 yang akan datang. Sehingga, ada waktu yang cukup untuk menuntaskan kendala pelaksanaan program sepanjang tahun.
"Kami mendukung upaya Mendikbud untuk mengambil langkah-langkah konkret sebagai jalan keluar dari kesulitan-kesulitan masyarakat, khususnya di bidang pendidikan. Kami juga mendukung upaya-upaya pembaruan untuk memperbaiki kapasitas sistem pendidikan kita dalam menjawab tantangan masa depan. Tentu saja sambil tetap kritis terhadap kekurangan-kekurangan yang ada," katanya.
Menurut Gus Yahya, program POP mengukur kelayakan gagasan dan perencanaan eksekusi, sehingga pihak manapun dapat ikut tanpa harus bergantung pada ukuran organisasi atau keluasan konstituennya.
"Untuk menyentuh akar rumput, termasuk warga NU, Kemendikbud menyiapkan sejumlah program lain, misalnya program afirmasi," kata dia.
Gus Yahya mengatakan, silaturahim dengan Mendikbud pada Kamis juga membahas masalah pendidikan di tengah pandemi Covid-19.
"Ini silaturahmi untuk mengurai kekusutan komunikasi yang sempat terjadi. Dalam suasana prihatin akibat pandemi dan masyarakat sangat membutuhkan jalan keluar dari berbagai kesulitan. Sangat tidak elok kalau kontroversi yang tidak substansial dibiarkan berlarut-larut," katanya.
Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim telah meminta maaf secara terbuka kepada Muhammadiyah, NU, dan PGRI soal kisruh POP. Ia berharap, ketiga organisasi besar tersebut bersedia memberikan bimbingan dalam melaksanakan programnya.
"Dengan penuh rendah hati, saya memohon maaf atas segala keprihatinan yang timbul dan berharap agar tokoh dan pimpinan NU, Muhammadiyah, dan PGRI bersedia untuk terus memberikan bimbingan dalam proses pelaksanaan program yang kami sadari betul masih belum sempurna," kata Nadiem, dalam sebuah video resmi dari Kemendikbud, Selasa (28/7).
Sehari setelah permintaan maaf itu, Nadiem berkunjung ke Kantor PP Muhammadiyah pada Rabu (26/7). Namun, Muhammadiyah tetap berkeputusan untuk tidak berperan serta dalam POP.
"Muhammadiyah memutuskan untuk tetap tidak berperan serta dalam program POP," ujar Abdul Mu'ti melalui pesan singkatnya, Senin (3/8).
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah merilis daftar calon penerima bantuan POP. Daftar inilah kemudian yang memicu polemik lantaran ada beberapa lembaga CSR perusahaan multinasional yang dinilai tak pantas mendapatkan bantuan.
Program ini merupakan program peningkatan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan dengan hibah dana dari pemerintah senilai total Rp 595 miliar. Sebanyak 183 peserta yang dinyatakan lolos dalam tahap evaluasi proposal.