Jumat 07 Aug 2020 14:57 WIB

Negara Hukum dan Ruang Publik

Hukum haruslah lebih memberikan secara detail ihwal kebebasan dan ketidakbebasan.

Dian Andriasari, Dosen Hukum Pidana dan Kriminologi Unisba, Aktivis Perempuan
Foto: Dokumentasi Pribadi
Dian Andriasari, Dosen Hukum Pidana dan Kriminologi Unisba, Aktivis Perempuan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dian Andriasari*

Ada kebutuhan perenungan menjelang usia negara Indonesia yang merdeka menggenapi angka 75. Mengeja negara sebagai sebuah sintesis dari kehendak dan kebebasan untuk menentukan nasib di atas kaki kita sendiri. Saat ini dalam konteks negara hukum dan demokrasi yang menjadi “rules of game”, atau dengan kata lain landasan operasional bagaimana negara ini hendak dijalankan, diproyeksikan di masa kini dan masa yang akan datang.

Rechtstaat—a state based on law atau a state governed by law, atau negara hukum, secara sederhana bermakna bahwa suatu negara menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan negara. Sisi lainnya, Wirjono Projodikoro menyatakan bahwa hukum yang berdaulat, karena negara pada umumnya dan negara Indonesia khususnya merupakan negara hukum, hal itu mengandung konsekuensi segala tindakan dan pemerintahan haruslah berdasarkan atas hukum. Dalam konteks realitas, sudahkah demikian?

Pertanyaan mengemuka ihwal bagaimanakah korelasi antara negara hukum dan ruang publik. Bagaimana semestinya peran negara dalam demokrasi deliberative dapat berfungsi dengan baik. Bagaimana hak-hak individu perlu dirumuskan melawan hegemoni dan bagaimanakah kewajiban negara untuk campur tangan dalam mewujudkan hak-hak kebebasan individu di ruang publik menuju arah tranformasi sosial?

Negara Hukum; antara idealita dan cita

Telah banyak analisis teoritikal yang luas tentang negara hukum. Mulai dari problem persepsi, design analisis dan konsep-konsep praktis, filosofis dan kajian-kajian kritis. Akan tetapi sejenak kita lepaskan dan preteli diksi “hukum” dari “negara”. Karena fokus memahami hukum dalam kerangka yang baru dan “terbarukan” menjadi amatlah penting, mengingat kondisi aktual saat ini di Indonesia.

Mengapa lompatan paradigmatik dalam memahami “hukum” begitu penting saat ini? Adalah penjelasan Thomas Kuhn yang memulai memperkenalkan istilah tersebut, ia membantu memberikan penjelasan untuk masuk jauh ke dalam relativisme berbagai bidang, mengingat begitu luasnya makna hukum. Bahwa hukum pada dasarnya haruslah lebih memberikan secara detail ihwal kebebasan dan ketidakbebasan, keadilan-ketidakadilan dan peningkatan harkat martabat manusia disertai dinamikanya, memanusiakan manusia dengan melihat keterbatasan. (Anthon F.Susanto, 2017;  193)

Dari sisi ini, kita dapat melihat bahwa hukum menjelma seolah labirin, yang berkelok dan tak mungkin dapat ditembus tanpa power atau kekuasaan. Di sanalah sesungguhnya peran negara hukum, yang mampu membuka sekat-sekat dan membuka akses keadilan bagi seluruh warga negara tanpa memandang ras, jenis kelamin, agama, atau pilihan politiknya.

Semua warga masyarakat yang lemah atau di lemahkan, kelompok-kelompok yang teralineasi. Mampukah mereka dapat turut serta dalam pengembanan hukum tersebut?

Bergeser ke arah lain, sebutlah pada kasus Baiq Nuril yang kemudian harus terjebak dalam jeruji besi. Padahal ia adalah perempuan korban kekerasan seksual hanya saja relasi kuasa antara pelaku dan korban yang tidak seimbang, memaksa ia pasrah dalam jerat UU ITE, meski akhirnya ia dibebaskan.

Akan tetapi kebebasan itu bukanlah kemenangan yang hakiki yang dikehendaki. Hukum menjelma seperti sebuah kredo yang klasik; tajam ke bawah dan tumpul ke atas, atau hukum seperti pedang bermata ganda.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement