REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra
Kewarasan masyarakat diuji ketika Indonesia memasuki tahun politik. Pelaksanaan Pemilihan Presiden (Pilres) 2019, misalnya, masyarakat terbelah menjadi dua kubu mengikuti dua calon presiden (capres) yang maju, yaitu Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto. Polarisasi tidak hanya terjadi terjadi di dunia nyata, juga merembet ke dunia maya.
Bahkan lebih kencang terjadi pembelahan di dunia maya, khususnya di Twitter yang ditandai perang tanda pagar (tagar) atau hashtag. Kedua pendukung capres saling menaikkan tanda pagar demi menaikkan popularitas kandidat yang disukainya.
Kondisi itu juga dibarengi dengan saling serang pribadi dan caci maki yang mewarnai media sosial (medsos). Bahkan ada yang sampai memutus pertemanan gara-gara terlalu semangat membela capres yang didukungnya.
Kedua pendukung capres seolah lepas kendali ketika mencoba mempromosikan kandidat di dunia maya. Etika tidak dijaga. Semua uneg-uneg ditumpahkan tanpa disaring. Hal itu membuat masyarakat ikut terbawa suasana perebutan kekuasaan.
Komunikasi Politik dalam Masyarakat tidak Tulus hadir untuk menganalisis praktik elite politik, yang manuvernya bisa ikut menyeret emosi di akar rumput. Buku ini berisi 43 artikel yang sudah dimuat di berbagai media, yang isinya memang tidak jauh dari dunia politik.
Meski ada beberapa tulisan yang peristiwanya sudah berlalu sehingga informasi yang disajikan terkesan ketinggalan zaman, namun bagi pembaca hendaknya hal itu malah bisa dijadikan media pembelajaran. Bukan peristiwanya yang menjadi fokus utama, melainkan konflik di dunia politik yang perlu dipelajari supaya masyarakat tidak menjadi korban politisi yang hanya mengejar ambisi pribadi.
Salah satu yang mendapat sorotan penulis adalah peran parpol yang begitu dominan dalam perebutan kekuasaan dari level pusat hingga daerah. Parpol berperan strategis dalam kehidupan kenegaraan Indonesia, karena setiap kandidat yang ingin maju sebagai anggota dewan, wali kota/bupati, gubernur, maupun presiden dan wakil presiden harus diajukan parpol.
Untuk menjadi kepala daerah memang bisa lewat jalur independen, namun hal itu butuh persyaratan administrasi yang berat sehingga sulit dipenuhi. Di sinilah peran penting parpol sebagai kendaraan dan tiket calon yang ingin menjadi kepala daerah maupun kepala negara.
Sayangnya, parpol yang bertugas merekrut dan mencetak kader terbaik di bidang politik seolah tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Buktinya, dalam setiap perhelatan pilkada kerap kali parpol masih mengusung eks narapidana maupun tersangka korupsi. Apa parpol kekurangan orang untuk diusung menjadi calon pemimpin? Mengapa dengan banyaknya figur di masyarakat yang bersih dan memiliki rekam jejak teruji, parpol malah memprioritaskan orang bermasalah?
Tentu saja ada berbagai pertimbangan yang dipilih pimpinan parpol hingga rekomendasi jatuh ke tangan orang yang pernah atau sedang tersangkut kasus hukum. Bisa pertimbangan uang, kekerabatan, koneksi, maupun faktor pragmatis, yaitu peluang menang lebih besar. Toh, masyarakat juga abai juga meski calon yang dipilihnya pernah terjerat hukum, faktanya tidak sedikit daerah yang kandidat seperti malah menang.
Namun, di sinilah yang perlu dikritisi. Jika parpol masih menutup mata dengan pemilihan calon pemimpin untuk dimajukan duduk di kursi legislatif maupun eksekutif maka konsekuensinya bukan orang terbaik yang mengelola pemerintahan. Padahal, ada adagium maju mundurnya sebuah negara ditentukan dengan kualitas parpol pula.
Selama ini, politisi hanya menjadikan masyarakat sebagai pendulang suara semata. Ketika keinginan sudah diperoleh, masyarakat dilupakan begitu saja. Jangan sampai masyarakat menjadi korban ambisius seseorang yang berupaya meraih kekuasaan dengan segala cara, namun malah nantinya tidak pernah mewujudkan aspirasi masyarakat.
Hal seperti itu sebenarnya sudah berulang kali terjadi. Namun, masalahnya juga tidak sedikit yang enggan belajar dari pengalaman sebelumnya. Alhasil, lagi dan lagi masyarakat menjadi tumbal kepiawaian mereka yang beratraksi di panggung politik.
Belajar tentang politik, memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Untuk itu, hendaknya setiap orang tak mudah terjebak rayuan gombal politisi yang siap menawarkan berbagai janji setinggi langit. Pasalnya sudah terbukti, mereka kerap lupa dan abai dengan kepentingan masyarakat ketika apa yang diinginkan sudah tergapai, entah itu jabatan, pangkat, atau kekuasaan.
Mengapa hal itu terjadi? Semuanya tidak bisa dilepaskan dari kondisi Indonesia yang mengalami involusi perubahan politik. Ada perubahan tetapi tidak banyak menyentuh subtansi isi. Itu disebabkan karena berkembangnya komunikasi politik dalam masyarakat yang tidak tulus. Komunikasi politik model itu ibarat lingkaran setan yang saling berkait dan tak mudah untuk diurai.
Buku karya dosen ilmu komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini mengkaji berbagai sudut pandang peristiwa di sekitar masyarakat untuk dijadikan dasar kerangka kebijakan di masa datang. Buku ini juga sebagai salah satu upaya ke arah itu, meskipun rumit, pelik, dan jalan berliku. Tentu setiap orang tidak ingin menjadi keledai yang jatuh di lubang yang sama tiga kali.
Begitulah kewaspadaan patut ditingkatkan bagi mereka yang skeptis dengan politisi supaya tidak sakit hati ketika janji yang diucapkan tidak pernah direalisasikan. Dari buku ini, pembaca bisa belajar memahami politik secara integral supaya tidak mudah menjadi korban rayuan politisi.
Penulis: Nurudin
Judul: Komunikasi Politik dalam Masyarakat tidak Tulus
Penerbit: Prenanda Group
Tahun: 2020
Tebal: 198 halaman