REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ikhwanul Kiram Mashuri*
Hampir semua peristiwa di kawasan Timur Tengah dihubungkan dengan teori konspirasi di satu sisi, dan dikaitkan dengan ‘perseteruan diam-diam’ antarnegara di sisi lain. Hal ini juga berlaku dengan ledakan dahsyat di Beirut Selasa lalu. Beberapa pihak percaya ledakan akibat amonium nitrat ini dilakukan pihak luar, kendati semua indikasi sejauh ini menunjukkan hal itu sebagai akibat dari kelalaian.
Apalagi ketika Presiden Michel Aoun sendiri menyatakan, penyelidikan aparat keamanan kini terfokus pada tiga hal. Pertama, bagaimana bahan peledak itu masuk dan disimpan di pelabuhan. Kedua, apakah ledakan itu akibat kelalaian manusia atau kecelakaan. Ketiga, kemungkinan adanya keterlibatan pihak luar yang menyebabkan ledakan dahsyat ini.
Konspirasi pihak luar tentu saja melibatkan pihak-pihak dalam. Itulah yang terlihat ketika kelompok-kelompok politik di Lebanon saling tuduh dan curiga satu sama lain. Termasuk tim investigasi yang dibentuk untuk menyelidiki ledakan yang sangat dahsyat ini.
Kelompok-kelompok oposisi terhadap Presiden Aoun menuntut penyelidikan internasional. Menurut mereka, tidak ada pihak lokal yang mau memikul tanggung-jawab, atau menuntut dan menyalahkan diri sendiri. Selain itu, penyelidikan internasional bisa saja akan membongkar kebrobrokan dan korupsi yang dilakukan kelompok-kelompok pendukung kekuasaan. Mereka menggambarkan Presiden Aoun dan Perdana Menteri Hassan Diab sebagai penjahat dan bahwa mustahil Aoun tidak mengetahui adanya bahan peledak di pelabuhan.
Presiden Aoun tentu menolak keras tuduhan itu. Ia juga menegaskan tim investigasi dari pihak luar hanya akan menghabiskan waktu dan tidak akan menemukan kebenaran. Sikap Aoun ini juga didukung kelompok Hizbullah, yang selama ini mendukung pemerintah.
Apapun penyebab ledakan — entah akibat konspirasi, keterlibatan pihak luar, ataupun lantaran kelalaian —, harga yang dibayar rakyat Lebanon terlalu mahal. Hingga kemarin, sedikitnya 154 orang meninggal dunia, sekitar 120 orang dalam kondisi kritis, puluhan lainnya masih hilang, dan sekira 300 ribu orang mengungsi dari rumah mereka.
UNICEF, lembaga PBB untuk urusan anak-anak, memperkirakan sekitar 80 hingga 100 ribu anak Lebanon menjadi tunawisma, 120 sekolah rusak. Sementara itu, Pelabuhan Beirut yang menjadi lalu lintas sekitar 70 persen barang yang keluar-masuk Lebonan hancur alias tidak berfungsi.
Untuk sementara, ledakan dahsyat yang disebabkan oleh 2.750 ton amonium nitrat itu disimpulkan sebagai kelalaian. ‘Kelalaian’ ini pula yang kemungkinan didorong oleh pemerintah ketika membentuk tim investigasi lokal. Ini pula yang menjadi alasan mereka menolak penyelidikan internasional. Dengan demikian, orang-orang yang bertanggung jawab terhadap ledakan dan sekaligus diberi sanksi bisa dibatasi ‘hanya orang-orang yang terkait dengan penyimpanan amonium nitrat di pelabuhan’.
Namun, bagi banyak orang Lebanon, kelalaian itu adalah akibat dari penelantaran pemerintah yang dianggap tidak becus mengelola negara. Hal inilah yang juga disuarakan oleh ribuan warga Lebanon yang menggelar unjuk rasa di Beirut sejak dua hari setelah ledakan dahsyat hingga Sabtu lalu. Aksi demonstrasi ini tampaknya akan terus berlangsung di hari-hari mendatang.
Para pengunjuk rasa yang datang dari berbagai daerah di Lebanon ini mengusung slogan ‘Yaum al Hisab’ alias ‘Hari Penghakiman’. Yakni penghakiman terhadap mereka yang dianggap bertanggung jawab terhadap ledakan dahsyat, yang mengubah ibukota mereka menjadi alun-alun kehancuran.
Para pengunjuk rasa — di antaranya adalah para pensiunan personel militer — berjalan dari Jalan Mar Mikhael, yang terkena dampak parah akibat ledakan, ke pusat kota Beirut. Mereka kemudian menyerbu markas Kementerian Luar Negeri di Ashrafieh, Beirut Timur, dan mengumumkan akan menjadikan tempat itu sebagai ‘markas revolusi’.
Selama berdemo, mereka mengangkat spanduk besar yang mencantumkan nama-nama korban yang tewas akibat ledakan dahsyat. Di antara pendemo ada yang membawa ‘tali gantung diri’ sebagai simbol tuntutan mereka untuk menyeret para penguasa yang dinilai telah menelantarkan rakyat dan negara. Mereka juga menuntut pengunduran diri pemerintah yang dianggap sangat korup.
Aksi unjuk rasa kali ini sebenarnya bukan yang pertama. Ia merupakan kelanjutan dari demonstrasi panjang yang berlangsung sejak November tahun lalu. Mereka memprotes cara pemerintah menangani krisis ekonomi yang melanda negara. Pada saat itu, pengangguran mencapai 25 persen, dan hampir sepertiga penduduk hidup di bawah garis kemiskinan.
Kondisi ini semakin memburuk sejak adanya wabah Covid-19. Masyarakat semakin marah dan frustrasi terhadap pemerintah yang dinilai telah gagal menyediakan layanan dasar kehidupan. Sehari-hari mereka harus berhadapan dengan pemadaman listrik, kurangnya air minum, terbatasnya layanan kesehatan masyarakat, koneksi internet terburuk di dunia, harga-harga bahan pokok yang melambung, dan seterusnya.
Banyak orang menyalahkan elit penguasa yang mendominasi politik selama bertahun-tahun. Dominasi politik akibat pembagian kekuasaan secara merata ke kelompok-kelompok masyarakat dan sekte-sekte keagamaan. Misal, presiden harus dijabat seorang Katolik Maronit, perdana menteri (PM) seorang Muslim Suni, wakil PM Kristen Ortodoks, dan ketua parlemen seorang Syiah. Pun dengan menteri-menteri, dibagi secara proporsional menurut kelompok-kelompok keagamaan tersebut. Termasuk para panglima dan kepala staf angkatan bersenjata dan kepolisian.
Bagi-bagi kekuasaan seperti itu juga terjadi di parlemen, yang mempunyai 128 kursi. Sebelum tahun 1990, rasio pembagiannya adalah 6:5, yang lebih menguntungkan kelompok Kristen. Namun, Perjanjian Taif (Saudi) pada 1989, yang mengakhiri perang saudara 1975-1990 mengubah rasio itu untuk memberikan representasi yang sama bagi para pemeluk Islam dan Kristen.
Pembagian kekuasaan berdasarkan kelompok dan sekte keagamaan ini adalah baik pada awalnya. Bahkan menjadi jalan keluar di masyarakat Lebanon yang sangat majemuk. Namun, ketika kekuasaan konsesional ini berubah menjadi oligarki politik dan monopoli ekonomi setelah bertahun-tahun, Lebanon pun menjadi malapetaka. Apalagi ketika kelompok-kelompok dan sekte keagamaan ini masing-masing membangun aliansi dengan kekuatan-kekuatan asing: Amerika Serikat, Prancis, Arab Saudi, Iran, Israel, Rusia, dan seterusnya.
Anak-anak muda, 60 persen dari populasi Lebanon, yang tidak terkait dengan kelompok-kelompok dan sekte-sekte itu pun merasa ditelantarkan dan hanya jadi penonton elit politik yang korup dan tidak becus mengelola bangsa dan negara. Ledakan dahsyat yang menghancurkan Beirut hanyalah akumulasi ketidakmampuan elit penguasa untuk memastikan keamanan, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat.
Akibatnya, Beirut yang dulu diibaratkan sebagai ‘perempuan cantik dan anggun’ di Timur Tengah pun berubah menjadi drakula yang menakutkan. Penyair terkenal Arab Nizar Qabani dan penyanyi Lebanon Majida El Roumi yang menyebut ‘Ya Beirut, ya Set ad Dunya’ (Perempuan Anggun dan Cantik) mungkin kini harus menitikkan air mata.
Namun, jangan khawatir. Perempuan Lebonon yang terkenal cantik akan tetap cantik. Dari sepuluh perempuan Lebanon yang cantik tetap 13 yang cantik, ditambah beberapa bayangannya.