Selasa 11 Aug 2020 01:07 WIB

Pendidikan Daring Penuh Bisa Sebabkan Education Death

Pendidikan daring buat anak tidak mendapatkan hak-hak pendidikan empiris.

Rep: Binti Sholikah/ Red: Indira Rezkisari
Pendidikan daring memiliki sisi buruk, yaitu menyebabkan anak terhambat proses tumbuh kembangnya.
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Pendidikan daring memiliki sisi buruk, yaitu menyebabkan anak terhambat proses tumbuh kembangnya.

REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Kondisi pandemi Covid-19 menyebabkan pembelajaran dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi dilaksanakan secara daring. Meski memiliki kelebihan pada aspek beyond classrooms (melampaui batas ruang dan waktu), tetapi pendidikan daring dihadapkan pada sejumlah kendala, baik kendala teknis jaringan, hambatan sosial ekonomi biaya, kendala sosiokultural kesiapan adaptasi, maupun masalah substansi atau hakikat pendidikan itu sendiri.

Pemerhati dan pengamat pendidikan sekaligus Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Harun Joko Prayitno, mengatakan, pendidikan hakikatnya suatu proses, bukan semata-mata hasil. Hasil adalah sebuah konsekuensi logis dari sebuah proses pendidikan.

Baca Juga

Ketua Asosiasi Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (ALPTK ) Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) Indonesia tersebut menilai, jika pendidikan daring penuh tetap akan dilaksanakan oleh Kemendikbud dan Kemenag sejak dari jenjang pendidikan anak usia dini sampai dengan pendidikan perguruan tinggi tanpa disertai petunjuk teknis dan tahapan pelaksanaan yang jelas dipredikasi akan menimbulkan punahnya atau bahkan matinya pendidikan (education death) dan punahnya atau matinya kepekaan sosial (social death).

"Hal itu sangat beralasan karena anak-anak yang masih dalam proses tumbuh dan berkembang tersebut hanya mengalami pertumbuhan secara fisik. Tetapi perkembangan mental dan kejiwaan pendidikannya mengalaman kemandegan," ungkap Harun seperti tertulis dalam rilis yang diterima Republika, Ahad (9/8).

Harun menambahkan, perkembangan mental dan kejiwaan anak-anak sebagai makluk sosial yang masih membutuhkan ruang interaksi dan komunikasi serta kreativitas dapat tersumbat. Sebab, mereka hanya mendapatkan imajinasi pendidikan. Mereka tidak mendapatkan hak-hak pendidikan empiris yang berinteraksi langsung dengan lingkungan belajarnya.

"Mereka juga akan memiliki trauma panjang bahwa belajar di sekolah dianggapnya belajar yang menakutkan, tidak aman. Belajar di sekolah dianggapnya sudah tidak ada lagi, tidak diperlukan lagi, dan belajar di sekolah bisa menimbulkan penyakit," paparnya.

Oleh sebab itu, dalam konteks pandemi Covid-19 ini, secara perlahan dan dengan disertai juknis dan pentahapan yang jelas kegiatan kembali belajar di sekolah dinilai sangat penting untuk membangkitkan kembali gerakan ke sekolah, jaga kebersihan, dan jaga kesehatan.

Menurutnya, tiga pilar antara sekolah, kebersihan, dan kesehatan menjadi momen penting saat ini. "Ini semua penting supaya tidak menjadi loss generation seperti dikemukakan oleh Mendikbud Nadiem Makarim akhir-akhir ini. Oleh sebab itulah, pilar belajar learning to do dan learning to leave together menjadi yang lebih penting dari pada sekedar learning to know dan learning to how secara online," pungkasnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement