REPUBLIKA.CO.ID, oleh Teguh Firmansyah*)
Beberapa hari lalu muncul petisi agar Lebanon kembali di bawah mandat Prancis. Dukungannya terbilang lumayan, mencapai lebih dari 60 ribu tanda tangan. Pada saat yang sama kehadiran Presiden Emmanuel Macron dielu-elukan sejumlah warga yang sudah muak dengan para politikus Lebanon. Mereka meminta agar bantuan yang diserahkan tidak melalui para politikus, melainkan langsung ke lembaga-lembaga swadaya yang bergerak di akar rumput.
Ungkapan kemarahan ini muncul setelah ledakan hebat yang terjadi di Pelabuhan Beirut pada 4 Agustus lalu. Ledakan dahsyat ini mirip seperti 'mini atom' yang menghempaskan semua di sekitarnya. Sedikitnya 150 orang tewas dan menyebabkan kerugian tak tanggung-tanggung mencapai 15 miliar dolar AS.
Kondisi Lebanon saat ini boleh dibilang seperti 'jatuh tertimpa tangga'. Krisis politik dan sosial tak berkesudahan membuat ekonomi negara itu morat-marit. Lebanon telah menyatakan diri gagal bayar utang negeri pada awal April lalu. Bayangkan utang Lebanon mencapai 90 miliar dolar AS atau 170 persen dari produk domestik brutonya. Jauh dibandingkan Indonesia yang diberada di level 30-an persen.
Sebelum ledakan, Lebanon juga terpukul oleh penyebaran virus Corona yang membuat ekonomi di berbagai belahan dunia anjlok. Kini, satu per satu menteri Lebanon mengundurkan diri. Empat menteri mundur setelah ledakan, terakhir yakni menteri keuangan.
Lalu bagaimana Lebanon bisa menyelesaikan pembayaran utangnya? Bagaimana Lebanon bisa membangun kembali kerusakan akibat ledakan hebat kemarin? Bagaimana Lebanon bisa membangun infrasruktur untuk kebutuhan warganya?
Persoalan di Lebanon memang ibarat benang kusut. Pertikaian yang tak henti-henti di dalam negeri, hingga perang proksi membuat negeri itu tak pernah benar-benar tenang. Butuh cara yang tak biasa agar Lebanon kembali bangkit.
Untuk mengatasi persoalan ini, tentu tak bisa langsung perbaikan ekonomi atau pembangunan infrastruktur. Hal terpenting adalah membangun kesepakatan bersama di antara para politikus, tokoh, dan kelompok yang mempunyai pengaruh di akar massa rumput. Inilah hal mendasar yang belum sepenuhnya dijalankan dalam kesepakatan pascperang sipil pada 1990.
Semua harus bersepakat bahwa persatuan dan kesatuan Lebanon lebih didahulukan dari kepentingan kelompok ataupun sektarianisme. Kubur sudah pengalaman-pengalaman pahit masa lalu. Perang saudara yang menyebabkan luka dalam sejarah di Lebanon. Kelompok Kristen Maronit, Syiah, dan Sunni, maupun gerakan pro Palestina di Lebanon perlu duduk bersama kembali menyelesaikan masalah di negara mereka.
Memang hal ini bukanlah hal yang mudah. Karena problem sektarianisme atau kelompok juga terjadi di negara-negara Timur Tengah yang terlibat konflik bersenjata. Dari mulai, Irak, Suriah, hingga Libya. Hampir semua mengalami masalah sama. Tapi dengan tekad kuat semua itu bisa diatasi. Sama seperti awal ketika Indonesia merdeka. Perlu ada titik tengah dan kepercayaan untuk menengahi perbedaan-perbedaan yang ada.
Sebetulnya sudah ada kesepatan bersama di antara pemimpin Lebanon pascaperang saudara. Presiden dipimpin oleh Kristen Maronit yang saat ini dijabat oleh Michel Aoun. Kemudian Perdana Menteri dipegang oleh kalangan Suni, sementara kedua dewan dpegang oleh Syiah. Sayangnya, kesepakatan ini juga belum bisa mengeluarkan Lebanon dari krisis. Ada yang perlu dievaluasi.
Kedua, Lebanon membutuhkan pemimpin yang kuat dan disegani. Pemimpin yang mampu kembalikan kepercayaan masyarakat, dan mengembalikan marwah negara. Pemimpin yang mampu menyatukan faksi-faksi di Lebanon. Selain itu, pemberantasan korupsi harus menjadi fokus utama karena ini yang membuat keraguan publik pada pemerintahan.
Pada Oktober 2019 lalu, Saad Hariri mundur dari jabatannya sebagai perdana menteri setelah tiga kali memimpin pemerintahan persatuan. Ia memilih mundur menyusul aksi protes berkelanjutan yang menentang langkah 'pengetatan anggaran' untuk membayar utang-utang Lebanon yang sudah jatuh tempo.
Saad Hariri yang juga politikus dari kelompok Suni ini pernah menyatakan mundur dari jabatannya pada 2017 lalu. Ia protes karena Hizbullah dan Iran terlalu menekan pemerintahan. Namun belakangan Hariri mencabut dukungannya. Perdana Menteri saat ini Hassan Diab dikabarkan juga akan mundur dari jabatannya menyusul aksi protes pascaledakan di Beirut. Diab dianggap sudah tak lagi dipercaya publik.
Ketiga, semua faksi di dalam internal Lebanon harus sepakat tidak ada lagi kelompok-kelompok sipil bersenjata. Dan ini sepertinya akan sulit. Seperti diketahui Hizbullah menjadi kelompok bersenjata paling berpengaruh di Lebanon. Hizbullah bahkan kerap berhadapan langsung dengan Israel. Hizbullah pun menyatakan terlibat dalam Perang Suriah membela Presiden Bashar al-Assad.
Padahal, idealnya dalam sebuah negara, kelompok sipil bersenjata seperti ini tidak ada. Militer sejatinya memang alat negara, bukan kelompok sipil. Kekuatan 'militer sipil' yang terlalu kuat membuat negara kehilangan marwahnya.
Keempat, semua pihak di Lebanon mesti sadar jangan sampai negara mereka menjadi arena perang proksi di kawasan. Perang proksi pada kenyataannya hanya membuat negara tercabik-cabik, terbelah-belah antarsatu sama lain. Sudah menjadi rahasia umum, Arab Saudi dan Iran menjadi dua negara yang memiliki kepentingan politik di Lebanon.
Iran mendukung kelompok Syiah bersenjata Hizbullah. Bagi Iran, Lebanon sangat strategis karena berdekatan dengan Israel. Sebaliknya Arab Saudi juga punya kepentingan di Lebanon dalam melawan pengaruh-pengaruh Iran di kawasan. Belum lagi kepentingan-kepentingan Barat atau pun China yang menggelontorkan uang cukup besar buat pembangunan infrastruktur di dunia.
Jika empat hal ini dilakukan di Lebanon, maka diharapkan stabilitas di Lebanon bisa tercapai. Kemudian setelah itu negara perlahan menyusun perekonomiannya, membayar utang-utang yang telah jatuh tempo. Lebanon merangkak perlahan keluar dari jurang kehancuran.
*) Penulis adalah jurnalis Republika.co.id