REPUBLIKA.CO.ID, LONDON — Tingkat paparan infeksi virus corona jenis baru (Covid-19) di Stockhom (Swedia) dan London (Inggris) ditemukan serupa berdasarkan tes antibodi. Padahal, Ibu Kota dua negara tersebut menerapkan strategi pembatasan yang berbeda.
Swedia memilih untuk menghindari aturan pembatasan yang ketat, dengan toko-toko dan restoran tetap buka. Pakar kesehatan memperkirakan bahwa 40 persen populasi di Stockholm mengembangkan antibodi terhadap Covid-19 pada Mei.
Meski demikian, penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Royal Society of Medicine menemukan bahwa 17 persen orang yang dites pada April di Stockholm telah mengembangkan antibodi. Angka ini dibandingkan dengan 17 persen orang di London yang dijui pada April dan Mei, serta lima hingga 10 persen orang yang tinggal di Jenewa, Swiss.
Swedia mengadopsi strategi pendekatan yang lebih ringan untuk menangani pandemi dibandingkan dengan kebanyakan negara Eropa lainnya. Negara ini memutuskan untuk tidak melakukan lockdown yang meluas dan menerapkan pembatasan yang relatif sedikit.
Sebagian aturan didasarkan pada gagasan membiarkan Covid-19 menyapu seluruh populasi dan menciptakan apa yang disebut kekebalan kawanan (herd immunity). Pendekatan semacam itu pada awalnya diterapkan di Inggris, tetapi kemudian ditinggalkan.
Di Inggris, lebih dari 46.500 orang dari 66 juta penduduk telah meninggal akibat Covid-19. Sementara, di Swedia ada lebih dari 5.500 kematian dari 10 juta penduduk, yang merupakan salah satu tingkat kematian relatif tinggi di antara populasi Eropa dan sejauh ini terburuk di antara negara-negara Nordik.
David Goldsmith dan Eric Orlowski dari University College London tak ingin langkah yang ditempuh Swedia menjadi seperti strategi tradisional yang luar biasa berisiko. Di Inggris, hampir menempuh cara yang sama, namun kemudian berbelok ke arah yang tepat.
“Saat ini dengan lockdown yang ketat meski terlambat ditetapkan di Inggris dan respons Swedia yang lebih terukur, kedua negara memiliki tingkat kematian dalam rata-rata tujuh hari yang tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara Skandinavia dan Eropa lainnya,” ujar Goldsmith dan Orlowski, dilansir BBC, Rabu (12/8).
Tetapi, keduanya mengatakan bahwa hanya setelah pandemi, dampak dari tindakan yang diambil dipahami sepenuhnya. Termasuk setidaknya dalam satu atau dua tahun, apakah tepat untuk menilai pendekatan dari negara mana yang tepat.
Orang yang terjangkit virus biasanya memiliki antibodi, yang dapat diukur dengan tes. Namun, tidak jelas apakah memiliki antibodi menawarkan perlindungan total atau bahkan sebagian dari paparan Covid-19 atau berapa lama efek tersebut dapat bertahan.
"Penelitian tersebut menunjukkan bahwa strategi Swedia gagal menghasilkan kekebalan perlindungan yang meluas," jelas Simon Clarke dari University of Reading, yang tidak terkait dengan penelitian tersebut.