Rabu 12 Aug 2020 14:18 WIB

Balada Pelabuhan Beirut 

Pascaledakan pelabuhan Beirut, otoritas pelabuhan di seluruh dunia dilanda kerisauan.

Siswanto Rusdi, Direktur The National Maritime Institute.
Foto: dokpri
Siswanto Rusdi, Direktur The National Maritime Institute.

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Siswanto Rusdi (Direktur The National Maritime Institute)

Pelabuhan Beirut hancur-lebur diguncang ledakan dahsyat beberapa waktu lalu. Tak ada yang tersisa. Kalaupun ada bangunan yang masih berdiri, mereka tak lebih dari puing nan rapuh. Gubernur Beirut, Marwan Abboud, tak kuasa menahan air matanya saat saat ditanya wartawan menyaksikan kehancuran pelabuhan yang menjadi nadi perekonomian wilayah yang dipimpinnya. 

Ia menyamakan kerusakan akibat kedahsyatan ledakan dengan porak-porandanya kota Hiroshima dan Nagasaki setelah dijatuhi bom atom oleh AS. Menjawab wartawan, ia tidak tahu bagaimana kota Beirut bisa keluar dari kondisi luluh-lantak dan berjalan menatap masa depannya.

Untuk sementara, tumpukan 2.750 ton amonium nitrat yang dionggokan di dalam gudang pelabuhan selama enam tahun dituding sebagai penyebabnya menguapnya pelabuhan Beirut. Bahan baku pupuk dan bom ini dibawa masuk oleh kapal berbendera Moldova, MV Rhosus, pada 23 September 2013. Berangkat dari Georgia, destination port kapal ini sebetulnya adalah Mozambik namun karena masalah teknis kapal terpaksa bersandar di pelabuhan Beirut. Lazimnya kapal berbendera asing yang sandar di sebuah negara pelabuhan, otoritas maritim setempat tentu saja menggelar port state control (PSC) terhadap kapal bersangkutan.

Saat diperiksa oleh petugas PSC Libanon ditemukanlah masalah serius terkait kelaiklautan (seaworthiness) kapal yang berujung dilarangnya MV Rhosus kembali melanjutkan perjalanannya. Sebagian besar kru kapal dipulangkan ke negara asalnya, hanya nakhoda beserta tiga anak buahnya yang dipaksa tinggal di atas kapal oleh otoritas pelabuhan Beirut. Sayang, langkah ini tak berjalan mulus karena pemilik kapal tak jelas di mana rimbanya. Nahasnya, regulasi keimigrasian setempat membuat ABK tidak bisa turun dari kapalnya sama sekali.

Kemelut terus meningkat. Kru kapal kehabisan bahan makanan, air dan berbagai kebutuhan hidup lainnya. Di sisi lain, tidak ada pihak yang bisa menyediakan semua bahan pokok tadi bagi para pelaut yang terpenjara di atas kapal tempat mereka bekerja. Masalah keimigrasian akhirnya berubah menjadi isu kemanusiaan yang bahkan upaya diplomatik sekalipun tidak mampu memecahkannya. Dengan berbagai cara para ABK berhasil menghubungi pengacara profesional yang selanjutnya menyampaikan kepada otoritas tempatan bahwa masalah pelaut-pelaut itu bukan hanya sebatas soal makan dan minum.

Ada yang lebih mengkhawatirkan daripada urusan perut, kata sang pengacara. Nyawa para pelaut jauh lebih terancam oleh kargo berbahaya yang berada di dalam perut kapal. Mengetahui apa yang dimuat oleh kapal, dengan izin pengadilan otoritas maritim negeri Khalil Gibran lantas mengizinkan ABK MV Rhosus turun dari kapal dan terbang pulang ke negaranya masing-masing. Tetapi masalah belum selesai dengan kepulangan para pelaut itu. Gantian pengelola Pelabuhan Beirut yang ketiban sial. Mereka harus mengurusi kapal tak bertuan dengan kargo yang amat sangat labil kondisinya.

Diputuskanlah untuk menurunkan muatan 2.750 ton amonium nitrat yang terdapat di atas MV Rhosus. Barang ini diletakan begitu saja di pinggiran jalan dalam kawasan pelabuhan. Baru pada kurun Juli 2014 hingga Oktober  2015 muatan tersebut digeser ke dalam gudang pelabuhan dan mengendap di sana selama enam tahun. Buum! Zat yang labil itu meledak setelah api menyelimuti gudang penyimpanan bahan berbahaya dengan rumus kimia NH4NO3 itu. Seratus enam puluh lebih jiwa melayang dan ratusan lainnya terluka berat maupun ringan akibat ledakan.

Sebagai pelabuhan utama dan sudah lama beroperasi pengelola pelabuhan Beirut tentu sudah tidak asing dengan semua tetek-bengek penanganan barang berbahaya (dangerous goods). Mereka pastinya sudah khatam International Maritime Dangerous Goods (IMDG) Code, regulasi yang disusun oleh International Maritime Organization dengan merujuk dua dari tiga konvensi utama maritim dunia, yaitu SOLAS dan MARPOL. Yang satunya lagi adalah STCW.

Begitu pula dengan International Ship and Port Facility Security (ISPS) Code, aturan yang bersumber dari SOLAS juga, pastilah dipahami betul oleh petugas-petugas itu. Kalau begitu, kenapa ledakan amonium nitrat tetap terjadi? Bukankah kemungkinan barang labil itu akan berulah sudah bisa diperkirakan jauh hari sebelumnya? Inilah yang disebut negligence alias kelalaian. Acap pula disebut human error. Yang berujung maut. Karenanya, sudah benar langkah Presiden Libanon Michael Aoun menempatkan sejumlah pejabat pelabuhan Beirut di bawah tahan rumah sambil menunggu penyelidikan lebih lanjut.

Penerapan IMDG Code dan ISPS Code memang banyak dicederai oleh negligence/human error. Sebelum pelabuhan Beirut, pelabuhan Tianjin di China juga diguncang hebat oleh ledakan 800 ton amonium nitrat. Tidak hanya ledakan, kobaran api yang menyala setelah ledakan pun berlangsung cukup lama. Zat labil ini disimpan dalam peti kemas yang bereaksi setelah terpapar sinar matahari berhari-hari. Korban tewas 173 orang.

Pernah pula pelabuhan Texas, AS, meledak karena zat yang sama pada 1947. Namun, pada masa ini IMDG Code, apalagi ISPS Code, belum disusun. IMO pun belum didirikan. Organisasi ini berdiri pada 1948 dengan nama Intergovernmental Maritime Consultative Organization (IMCO).

Pascaledakan pelabuhan Beirut, otoritas pelabuhan di seluruh dunia dilanda kerisauan yang cukup dalam karena terminal-terminal yang mereka operasikan juga menerima dan membongkar muat amonium nitrat. Indonesia salah satunya. Dan, pelabuhan-pelabuhan di negeri ini pada derajat tertentu memiliki kesamaan dengan pelabuhan Beirut. Sama-sama berada di tengah pemukiman yang padat penduduk. Pada awalnya, pelabuhan-pelabuhan ini dibangun di pinggiran kota yang relatif jauh dari pemukiman.

Kini, pelabuhan-pelabuhan itu terjepit oleh kawasan permukiman dan perkantoran. Jika mau dikembangkan, terpaksa menguruk laut atau membangun dermaga di atas laut. Inilah yang terjadi dengan terminal NPCT1, pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Padahal, pelabuhan terbesar di Indonesia ini dibangun oleh Belanda dengan daerah penyangga (buffer zone) untuk pengembangan di masa depan mencapai hingga kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Lahan seluas ini sekarang telah berubah peruntukannya.

Tidak jelas apakah di pelabuhan Beirut ada instalasi militer atau tidak. Yang jelas, di pelabuhan Tanjung Priok masih banyak terminal yang dimiliki oleh tentara. Karena nature-nya yang sangat rahasia, publik tidak tahu kargo atau barang seperti apa yang dibongkar dan disimpan di sana.

Di sini ada potensi kerawanan. Hanya saja, karena pelabuhan Tanjung Priok dikelola oleh BUMN pelabuhan tidak perlu khawatir berlebihan. Yang perlu diperhatikan dengan saksama adalah pelabuhan-pelabuhan yang dikelola oleh Kementerian Perhubungan maupun oleh swasta. Apakah para petugas lapangannya sudah memahami IMDG Code dan ISPS Code? Entahlah.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement