REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua MPR RI Bambang Soesatyo bersama Generasi Lintas Budaya, BPIP, Komunitas Gerakan Scooterist Peduli (GSP) dan Gerakan Keadilan Bangun Solidaritas (Gerak BS) menyalurkan bantuan Program MPR Peduli sebesar Rp 100 juta untuk korban bencana alam Masamba, Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Musibah banjir bandang pada Senin (13/07) lalu menewaskan puluhan warga dan menyebabkan ribuan warga mengungsi hingga sekarang.
"Selain bergotong-rotong memberikan bantuan, kita juga mendesak pemerintah daerah, provinsi hingga Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mengusut tuntas penyebab terjadinya banjir bandang tersebut. Karena ada berbagai dugaan, salah satu penyebabnya karena tata kelola lingkungan hidup yang amburadul," ujar pria yang akrab disapa Bamsoet ini.
Luwu Utara memiliki luas hutan sekitar 750,268 hektare, terbesar di Sulawesi Selatan. Menurut Bamsoet ironis jika daerah itu sampai ditimpa banjir bandang. "Pasti ada sebuah kesalahan dalam mengelola lingkungan," ujar Bamsoet usai acara Ngobrol Asyik (Ngobras) sampai Ngomong Politik (Ngompol), sekaligus menyerahkan bantuan melalui Komunitas Penggemar Scooter atau Vespa yang tergabung dalam GSP di Jakarta, Sabtu (15/8).
Mantan Ketua DPR RI ini mengingatkan, alam telah memberikan banyak berkah bagi bangsa Indonesia. Karenanya para pemimpin daerah hingga pusat harus bijak mengatur pengelolaannya. Jangan sampai, karena salah tata kelola, rakyatlah yang menjadi korban.
Kejadian di Masamba, Bamsoet mengatakan, menjadi peringatan keras bagi berbagai daerah lain di Indonesia. Eksploitasi berlebihan terhadap alam tak akan mendatangkan kemakmuran, malah mendatangkan kehancuran. "Jangan biarkan alam marah karena perilaku kita yang serakah. Karenanya, bersahabat dengan alam adalah keharusan," tandas Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini juga menyoroti kajian akademik dari Universitas Hasanudin yang sejak tahun 2019 telah memprediksi potensi bencana alam di Luwu Utara, akibat praktik penebangan hutan dan perluasan lahan perkebunan sawit. Peringatan melalui kajian tersebut seharusnya bisa diantisipasi oleh berbagai pihak, sehingga tidak membuat rakyat menjadi korban.
Menurutnya salah satu problem terbesar dalam menjalankan pemerintahan di daerah hingga pusat adalah tak mau mendengar masukan dan kajian dari para ahli. Akibatnya, banyak anak bangsa yang memiliki ilmu pengetahuan tentang kebencanaan malah tak dimanfaatkan.
"Di luar negeri seperti Jepang dan Amerika, negara yang akrab dengan bencana badai topan misalnya, bisa mengantisipasi sejak setahun sebelumnya karena mereka memanfaatkan para ahli kebencanaan," pungkas Bamsoet.