REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Priyantono Oemar
Begitu Presiden Sukarno berdiri di belakang mikrofon, sambutan membahana: Tepuk tangan dan siulan. Sukarno berdiam, menunggu sambutan reda, sambil melepas kacamata, lalu menyapu pandangan ke kiri dan ke kanan, dan membuka pidatonya dengan lembut.
Suasana menjadi hening, memberi kesempatan suaranya bebas terdengar. Orang-orang lantas menyimak.
Sebelumnya, yang menyampaikan pidato adalah wakil ketua DPR Sementara (DPRS), juga hening. Hadirin bukan menyimak, tapi asyik dengan diri masing-masing.
Hadirin kemudian memberikan sambutan tepuk tangan resmi setelah pidato disudahi. Pada Upacara 17 Agustus 1952 ini, ketua DPRS berhalangan hadir karena sakit. DPRS dibentuk pada 16 Agustus 1950, peleburan dari DPR RIS dan Senat RIS.
Dalam Upacara 17 Agustus 1952 ini, Sukarno membahas krisis otoritas yang dialami Indonesia setelah masa revolusi. Ia merangkum berbagai masalah yang dihadapi negara sekaligus menganalisisnya dan membuat daftar kesalahan. Ia membahasnya dalam konteks yang lebih luas, yang menurut De Locomotief, bahasannya lebih luas dari sebelum-sebelumnya yang disampaikan dalam forum lain.
Ini adalah kali ketiga Upacara 17 Agustus diadakan di halaman Istana Merdeka sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Kali pertama dilakukan pada 17 Agustus 1950 setelah mendapat pengakuan kemerdekaan secara resmi dari Belanda pada Desem ber 1949.
Ibu kota negara sempat dipindah ke Yogyakarta sehingga Upacara 17 Agustus diadakan di Yogyakarta, sebelum akhirnya Yogyakarta direbut Belanda pada 19 Desember 1948. Selama di Yogyakarta, ajudan Sukarno, H Mutahar, membina pasukan pengibar bendera pusaka.
Belanda bersedia mengakui kemerdekaan dengan syarat Indonesia menerima limpahan utang Hindia Belanda sebesar 1,130 miliar dolar.
Pukul 05.30 pada Ahad, 19 Desember 1948, itu Belanda membombardir Yogyakarta dan mengepung Istana tempat Sukarno tinggal. Beberapa jam sebe lumnya, atas perintah Gubernur Milit er Gatot Subroto, tentara mengeksekusi Amir Syarifuddin dan kawan-kawan karena pemberontakan Madiun. Dengan begitu, tak ada kekhawatiran Amir akan dibebaskan Belanda setelah Yogyakarta dikuasai Belanda.
Serangan ini membuat Sukarno harus menyerah. Ia masih sempat memikirkan bendera sebagai simbol negara. Ia perintahkan H Mutahar untuk menyelamatkan bendera hasil jahitan Fatmawati itu. Dalam buku Bung Karno penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Sukarno bercerita tentang hal ini di halaman 389 (cetakan keempat, 1986).
Sukarno menyimpan bendera itu di peti besi, dari Jakarta ke Yogyakarta ia bawa sendiri dengan koper. Kepada Mutahar, ia berpesan, harus diserahkan kembali kepada dirinya jika masih ada umur, atau kepada orang yang menggantikannya jika Sukarno dibunuh Belanda. Mutahar yang kini lebih dikenal sebagai pencipta lagu Syukur itu lalu membuka jahitan, menyembunyikan lembaran putih di dalam baju dan lembaran merah ia masukkan ke tas pakaian.
Sukarno kemudian dibuang ke Prapat, Sumatra Utara, bersama H Agus Salim dan Syahrir dan kemudian dipindah ke Bangka pada akhir Januari 1949. Sudah ada Moh Hatta di sana, yang sedari mula dibuang ke Bangka.