REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Republik Indonesia kini telah menginjak usia ke-75 tahun sebagai suatu negara kesatuan. Namun, kemerdekaan sebagai suatu bangsa yang diraih dengan segala pergolakan itu, tidak hanya selesai ketika Sayuti Melik mengetik naskah proklamasi saja.
Pergunjingan dan usaha setiap pihak masih berlanjut di detik-detik sebelum proklamasi. Hingga akhirnya, pembacaan naskah proklamasi 1945 oleh Soekarno, menjadi tonggak sejarah bagi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam buku Kaigun, Angkatan Laut Jepang, Penentu Krisis Proklamasi oleh Suhartono, disebutkan, menurut Sudiro, dr. Muwardi telah memberitahunya di malam menjelang kemerdekaan bahwa Barisan Pelopor perlu menghadiri proklamasi kemerdekaan di Lapangan Gambir pagi berikutnya. Setelah mendengar itu ia meminta beberapa orang untuk mengedarkan sesuatu yang sangat penting demi berkumpulnya masyarakat dan lancarnya pembacaan proklamasi.
Keesokan harinya, di hari proklamasi, ribuan pamflet berhasil dicetak dalam waktu semalam. Pada saat yang sama, berbagai informasi mengenai pembacaan proklamasi juga tersebar ke seluruh Jakarta.
Bahkan, sejak pagi buta 17 Agustus 1945 Lapangan Gambir telah dipenuhi banyak kelompok pemuda dan generasi tua. Pada saat itu, mereka tahu ada perubahan pengumuman tempat pembacaan proklamasi.
Mengutip Maeda, gerombolan rakyat yang tidak sabar mendengar pengumuman berdirinya bangsa Indonesia itu langsung menuju halaman upacara. Bahkan, analogi kumpulan massa itu ia sebut sebagai datangnya air kehidupan di waktu pasang.