REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Survei yang dilakukan lembaga riset Saiful Mujani Research Center (SMRC) menangkap bahwa mayoritas masyarakat mengalami gangguan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Mereka mengaku keberatan dengan biaya yang harus dikeluarkan selama PJJ berlasung di tengah pandemi Covid-19.
"Jadi ada 92 masyarakat merasa sangat banyak mengalami masalah yang menggangu belajar online," kata Manajer Kebijakan Publik SMRC, Tati D Wardi saat memaparkan hasil riset secara virtual di Jakarta, Selasa (18/8).
Secara rinci, 25 persen responden mengaku mengalami sangat banyak kendala sementara 87 persen responden lainnya menyatakan cukup banyak masalah. Dia menjelaskan, 92 persen itu diambil dari 87 persen publik yang melakukan PJJ sellama masa pandemi Covid -19. Sedangkan 13 persen publik sisanya tidak melakukan PJJ.
Survei dilakukan terhadap 2.201 responden yang dipilih secara acak dari koleksi sampel acak survei tatap muka yang telah dilakukan SMRC sebelumnya. Survei dilakukan melalui wawancara telepon dalam beberapa waktu mulai dari April hingga Agustus 2020. Survei memiliki margin of error sebesar sekitar 2,1 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Survei juga mendapati keresahan masyarakat akan kesulitan membayar biaya sekolah daring bagi mereka yang masih memiliki anggota keluarga sebagai pelajar. Dari 70 persen warga yang memiliki anggota keluarga masih sekolah sekitar 59 persen merasa banyak atau cukup banyak kesulitan membayar biaya sekolah secara daring.
"Mayoritas warga atau sebesar 67 persen juga merasa sangat hingga cukup berat membiayai sekolah online," kata Tati D Wardi lagi.
Selama masa PJJ hanya enam persen warga yang menghabiskan biaya internet di bawah Rp 50 ribu perbulan. Sedangkan 45,9 persen responden harus mengeluarkan biaya internet Rp 51 ribu hingga Rp 100 ribu perbulan untuk sekolah daring.
Sebanyak 23,7 persen menghabiskan Rp 101 ribu sampai Rp 200 ribu perbulan, warga yang mengahabiskan Rp 201 ribu hingga Rp 300 ribu perbulan (10,7 persen) warga yang mengahabiskan Rp 301 ribu hingga Rp 400 ribu (4,5 persen) warga yang mengahabiskan Rp 401 ribu sampai Rp 500 ribu (4,8 persen) warga yang mengahabiskan lebih dari Rp 500 ribu 2,9 persen.
Survei juga mendapati bahwa 76 persen warga mampu mengakses internet dan 24 persen responden menjawab sebaliknya. Dari angka tersebut, sebesar 95,1 persen mengakses melalui gawai pintar, sebanyak 25,5 persen memakai laptop dan 3,8 persen menggunakan komputer atau desktop.
Mengacu pada hasil survei, masyarakat perkotaan merupakan warga yang lebih mudah mendapatkan akses internet dibanding warga pedesaan. Rinciannya, sebanyak 82 persen warga perkotaan bisa mengakses internet dan 70 persen warga desa dapat mengakses hal tersebut.
Secara kedaerahan, akses internet diklaim dapat dinikmati oleh 96 persen warga DKI dan Banten. Sebesar 76 persen Sumatera, 71 persen Jawa Barat, 72 persen Jawa Tengah, 74 persen Jawa Timur, 77 persen Bali dab Nusa Tenggara, 79 persen Kalimantan, 71 persen Sulawesi, 77 persen Maluku dan Papua.
Tati mengatakan, mengacu pada hasil survei, mayoritas warga merasa kondisi ekonomi masa Covid-19 semakin berat. Mereka, sambung dia, menilai bahwa kondisi ekonomi nasional saat ini terasa semakin berat dibanding yang dirasakan Mei 2020, bahkan terberat dalam 20 tahun reformasi.
Tati mengatakan, bahwa temuan ini menunjukkan beberapa masalah besar yang dialami warga selama kebijakan belajar online oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dia melanjutkan, selain mengeluhkan gangguan selama belajar online, warga juga terbebani dengan biaya pulsa internet untuk belajar online.
"Hal ini memprihatinkan di tengah kesulitan ekonomi rumah tangga yang dirasakan makin memburuk," katanya.