Ahad 23 Aug 2020 23:15 WIB

10 Kampus UIN Sulit Buka Prodi Baru

Sepuluh rektor UIN temui pimpinan DPD bahas sulitnya buka prodi.

UIN Imam Bonjol, Padang, Sumatra Barat. Sepuluh rektor universitas Islam negeri (UIN), termasuk dari UIN Imam Bonjol, menemui Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI membahas mengenai kesulitan membuka program studi baru.
UIN Imam Bonjol, Padang, Sumatra Barat. Sepuluh rektor universitas Islam negeri (UIN), termasuk dari UIN Imam Bonjol, menemui Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI membahas mengenai kesulitan membuka program studi baru.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sepuluh rektor universitas Islam negeri (UIN) menemui Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI membahas mengenai kesulitan membuka program studi baru. Para rektor berharap DPD bisa membantu menyelesaikan masalah ini.

"Kami terus terang sangat berharap kepada DPD, setelah kami melihat sendiri bagaimana perjuangan DPD RI yang berhasil membantu peningkatan status sembilan kampus IAIN menjadi UIN. Nah sekarang giliran kami, kampus UIN lama, yang mengalami hambatan dalam membuka prodi umum di kampus kami,” ujar Juru Bicara 10 Kampus UIN, Prof Fauzul Imam, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Ahad (23/8). 

Baca Juga

Fauzul mengatakan, beberapa kampus UIN kesulitan membuka prodi ilmu sosial dan sains yang berbasis terapan. Mereka hanya bisa membuka prodi umum ilmu induk. 

Padahal, ilmu terapan lebih dibutuhkan dalam menjawab tantangan jaman. “Dan hal itu sesuai dengan kebutuhan dan minat masyarakat. Dan niat kami memang memadukan antara ilmu agama dan sains,” urai rektor UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten itu.

Rektor UIN Imam Bonjol Padang Prof Eka Putra Wirman mengungkapkan seharusnya tidak ada perbedaan antara perguruan tinggi negeri (PTN) dengan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) selama statusnya sama-sama universitas. Ini seperti halnya Madrasah Ibtidaiyah (MI) setara dengan SD, Madrasah Tsanawiyah (MTs) setara dengan SMP, dan Madrasah Aliyah (MA) setara dengan SMA.

“Padahal kalau mau jujur, PTN yang ada sekarang tentu tidak mampu menampung semua anak bangsa yang ingin belajar di fakultas-fakultas ilmu terapan yang ada. Kami, UIN, selain tersebar merata di hampir semua provinsi, biaya pendidikan di UIN relatif lebih murah dan terjangkau bagi peserta didik di daerah, tanpa mengurangi mutu. Karena kami rata-rata juga terakreditasi A dan B. Ini seharusnya faktor yang juga harus dilihat,” tukas Eka.

Ketua DPD AA LaNyalla Mahmud Mattalitti meminta masing-masing kampus membuat daftar masalah yang dihadapi. Kemudian, daftar itu diserahkan kepada Komite III yang membidangi pendidikan.

“Nanti dari situ akan kami telaah, dan kami petakan. Pada tataran kebijakan akan menjadi ranah pimpinan, dan di tataran fraksi akan menjadi tugas teknis Komite III,” kata LaNyalla.

Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono menyakini apa yang diperjuangkan kampus UIN akan terwujud. Selama tolok ukurnya berdasarkan kebutuhan. Seperti halnya IAIN meningkat status menjadi UIN karena kebutuhan. Begitu pula UIN membuka prodi ilmu terapan, juga harus karena kebutuhan.

Nono menambahkan, memang harus ada proses untuk itu. Seperti yang pernah ia alami saat menjadi gubernur Akademi TNI untuk memperjuangkan kesamaan derajat antara lulusan Akademi Militer dengan Strata S1.

"Alhamdulillah akhirnya bisa. Kuncinya harus berdasarkan kebutuhan. Saya pikir, Presiden Jokowi berulang kali menekankan pentingnya kualitas SDM Indonesia untuk dapat melakukan lompatan. Itu saya kira salah satu kebutuhan," kata Nono.

Ketua Komite III DPD RI Sylviana Murni optimistis Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim dapat memahami niat kampus-kampus UIN untuk membuka prodi ilmu terapan. Sebab, Kemendikbud telah meluncurkan program ‘Merdeka Belajar: Kampus Merdeka’, bagi perguruan tinggi.

“Program tersebut memberikan otonomi bagi PTN maupun swasta yang berakreditasi A dan B untuk membuka prodi baru. Dengan titik tekan, prodi yang sesuai kebutuhan masa depan dan akan dipermudah, apabila kampus tersebut telah menjalin kerjasama dengan organisasi dunia atau 100 kampus terbaik dunia. Saya pikir UIN lebih mudah bekerja sama dengan kampus seperti Al-Azhar dan lainnya kan,” kata senator asal DKI Jakarta itu.

Optimisme para senator juga disampaikan Wakil Ketua DPD Sultan Baktiar Najamudin. Menurutnya selama hambatan itu masih berkisar di sektoral antar kementerian.

Karena itu, DPD yakin dapat memperjuangkan aspirasi para rektor. "Dalam kasus UIN ini kan ada tiga kementerian yang terlibat. Kemenag, Kemendikbud dan Kemenpan/RB. Selama masih dalam tataran Permen dan Kepmen, tidak terlalu sulit, " kata Sultan.

Dalam pertemuan yang dihelat Ahad petang itu, selain Rektor UIN Banten dan Padang, juga hadir Wakil Rektor UIN Bandung Prof. Rosihan Anwar dan Dr Alamsyah dari UIN Lampung. Sedangkan pimpinan UIN Sunan Ampel Surabaya, UIN Mataram, UIN Walisongo Semarang, UIN Sultan Thoha Saifudin Jambi, UIN Antasari Banjarmasin, dan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang berhalangan hadir.

Sementara Senator yang juga hadir tampak Wakil Ketua Komite III Fadhil Rahmi Lc, Abdul Rahman Thaha dan Ajbar serta Sekjen DPD Reydonnyzar Moenek.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement