REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Subroto, Jurnalis Republika
Tahun 2006 aku mendapatkan fellowship dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) untuk melakukan liputan mendalam tentang flu burung. Saat itu, flu burung baru saja merebak. Yang paling menderita adalah peternak unggas. Banyak pengusaha unggas limbung karena ribuan ayamnya mati serentak.
Aku memilih tema bagaimana warga dan peternak unggas mengantisipasi wabah flu burung. Lokasi liputan di Legok, Kabupaten Tangerang, Banten. Menurut informasi awal yang dikumpulkan, di sana banyak terdapat peternak ayam ras.
Setelah melakukan berbagai persiapan, mulailah turun ke kelapangan. Aku berangkat dengan mobil diantar oleh adik ipar, Rully. Sasaran liputan ada dua, penduduk yang memelihara ayam di sekitar rumahnya dan peternakan ayam.
Ternyata tak gampang mendapatkan narasumber. Tiga peternakan yang didatangi tak ada yang mau menerima. Lokasi peternakan di daerah itu umumnya ditutup rapat dengan pagar tembok atau seng. Tak bisa melihat aktivitas di dalam.
Hari pertama hanya berhasil mewawancarai penduduk yang memelihara ayam di rumahnya. Itu pun tak mudah. Banyak penduduk yang enggan diwawancari.
Liputan terancam gagal jika tak bisa masuk ke peternakan ayam, melihat kondisinya, dan mewancarai pemiliknya. Harus bisa masuk, bagaimanapun caranya.
Hari kedua kami kembali ke Legok. Kali ini aku akan menyamar menjadi pembeli telur agar bisa masuk ke peternakan. Di pintu masuk salah satu peternakan ayam, mobil Carry yang disopiri Rully, disetop penjaga. “Mau beli telur Mas,” kataku sambil membuka kaca mobil.
Seorang penjaga berbadan kekar, berkulit legam membuka pintu gerbang yang ditutup rapat. Mobil kami disemprot desinfektan. “Biar kumannya mati,” katanya.
Kami diarahkan menuju ke rumah tempat pembelian telur. Seorang perempuan muda menyambut dengan ramah. Dia menanyakan berapa jumlah telur yang akan kami beli. Aku tak mungkin berbohong lagi. Narasumber harus tahu bahwa aku akan menulis tentang peternakan itu dan mewancarai pemiliknya.
Ketika kukatakan maksud kedatangan kami, seketika wajah perempuan itu berubah. Kalimatnya yang tadinya ramah mendadak ketus. “Kita jual telur Mas. Wartawan nggak boleh masuk. Mas-nya pulang aja.”
Suasana menjadi tidak enak. Aku mencoba menjelaskan, tapi dia tetap meminta pergi. Karena tetap ngotot tak mau balik, dia memanggil karyawan lain yang laki-laki. Tiga orang datang dan meminta kami meninggalkan peternakan itu. Bicaranya keras dan tegas. “Ini wilayah kami. Kami berhak mengusir Mas-Mas.”
Kami tak lagi melayani debat. Bisa runyam kalau tetap ngotot. Aku bilang bersedia pergi, tapi ingin bertemu dengan pemilik peternakan terlebih dulu.
Sambil menggerutu salah seorang dari mereka pergi memanggil pemilik peternakan. Dua orang berjaga-jaga mengawasi gerak–gerik kami.
Tak lama sang pemilik datang. Dia seorang pria keturunan Tionghoa. Umurnya sekitar 50 tahun. Wajahnya tampak tak senang. Pasti anak buahnya sudah melapor.
“Mohon maaf Mas, kami sudah trauma dengan wartawan. Sebaiknya Mas pulang saja,” pintanya.
Dia masih ngomong panjang lagi alasannya mengapa tak mau menerima wartawan. Aku tak membantah. Cuma mengangguk-angguk seperti anak yang dinasihati orang tuanya. Giliran bicara, aku mengenalkan diri lebih dulu dan menunjukkan KTP serta ID card pers.
“Lho namanya Subroto, tapi kok lahirnya di Sawahlunto. Itu di Padang kan?“ tanyanya heran sambil membolak-balik KTP. “Orang tua saya asli Wonogiri Pak. Saya pujakesuma. Putra Jawa kelahiran Sumatra,” jawabku terkekeh, berusaha mencairkan suasana.
Tiba-tiba matanya berbinar. ”Saya juga dari Wonogiri, Mas-nya Wonogiri-nya mana ?”
“Bapak Praci, Ibu dari Mbatu,” jawabku.
Dia tertawa lepas. Sepertinya senang bertemu sesama orang Wonogiri. Selanjutnya kami malah ngobrol seputar Wonogiri. Aku lahir dan besar di Sawahlunto, Sumatra Barat. Sudah jadi orang Sawahlunto. Wonogori itu tanah leluhur. Tak boleh dilupakan.
Beruntung waktu kuliah di UGM Yogyakarta sering pulang kampung ke Wonogiri. Saat itu Simbah (Nenek) dari Bapak masih ada. Jadi kalau ngobrol soal Wonogiri masih bisa nyambung.
Kami tergelak-gelak cerita tentang enaknya sate kambing di Pasar Mbatu. Padahal seumur-umur aku belum pernah makan sate di pasar itu, hanya sering dengar ceritanya dari Mamak (Ibu). Soal Waduk Gajah Mungkur, selain sering dapat cerita Bapak, juga sering lewat lokasi itu.
Suasana benar-benar sudah cair. Dua orang yang mengaku dari Wonogiri kangen-kangenan tentang kampungnya. Rully terbengong-bengong melihat perubahan suasana itu. Anak buah si pemilik peternakan tak kalah bingungnya.
Tak perlu lagi melanjutkan meminta izin untuk meliput peternakan. Dia bercerita panjang lebar bagaimana dampak wabah flu burung dan bagaimana peternak mengantisipasinya. Dia juga memberikan nomor handphone peternak lain yang bisa didatangi. Kami juga diajak berkeliling peternakan itu dan masuk ke salah satu kandang ayam.
Liputan hari itu lancar selancar-lancarnya. Begitu pulang dia sampai membekali satu kas telur ayam. Tentu saja aku secara halus menolaknya. Tapi dia terus memaksa.
“Ini bukan pemberian kepada wartawan. Ini dari orang Wonogiri kepada sedulurnya sesama orang Wonogiri. Tidak boleh ditolak,” katanya sambil memasukkan sendiri telur ke dalam mobil. Kami bersalamanan hangat.
Sepanjang jalan pulang, aku dan Rully tak henti-henti tertawa. Berbekal identitas sesama orang Wonogiri, liputan beres, malah dapat bonus satu kas telur ayam.
Tips Melakukan Liputan Mendalam
- Tetapkan isu yang hendak didalami
- Kumpulkan sebanyak mungkin informasi terkait isu yang diangkat
- Pilih angle yang paling menarik
- Liputan mendalam lebih mengungkap why (mengapa) dan how (bagaimana) dari suatu fakta atau peristiwa
- Tentukan nara sumber yang akan dikejar dan bagaimana caranya
- Buat daftar pertanyaan kunci untuk nara sumber
- Buatlah TOR liputan agar lebih terarah
- Jika perlu buat tim
- Perhitungkan peliputan dan pemuatan
- Persiapkan anggaran yang cukup