REPUBLIKA.CO.ID, oleh Indira Rezkisari*
Bulan depan, Pulau Bali akan dibuka kembali bagi wisatawan asing. Banyak pihak yang menyebut pemerintah gegabah memaksa pembukaan kembali Pulau Bali saat kasus Covid-19 di Indonesia belum berhasil dikendalikan.
Pemerintah memang membutuhkan Bali untuk kehidupan orang se-Indonesia. Pulau Dewata adalah penyumbang 50 persen devisa. Bali menghasilkan devisa hampir 10 miliar dolar AS dari total devisa 18 miliar dolar AS di sektor pariwisata.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa mengatakan Bali menjadi andalan pemerintah sebab memiliki sejumlah keunggulan. Bali, sebutnya, didukung infrastruktur hingga kearifan lokal masyarakatnya yaitu dalam sistem keamanan adat atau Pecalang yang berperan aktif membantu pengawasan untuk menekan penyebaran Covid-19.
Pandemi telah menyebabkan perekonomian Bali tertekan hingga mencapai di bawah nol pada triwulan pertama tahun ini. Kunjungan pariwisata Bali mengalami kontraksi atau minus 82,8 persen. Akibatnya, Indonesia berpotensi kehilangan 15-16 miliar dolar AS.
Bali memang tempat wisata yang istimewa. Bagi saya pribadi selalu ada kerinduan untuk bisa menyambangi Bali. Ketika pandemi melanda dan saya belum bisa liburan ke mana-mana, foto-foto lama ketika di Bali menjadi penghibur hati.
Bagi wisatawan lokal, sebenarnya Bali sudah bisa didatangi. Syaratnya juga relatif standar di era pandemi, yaitu sudah melakukan tes usap atau minimal rapid test. Setelah itu mengunduh aplikasi dan menyalakan GPS di ponsel agar mudah dipantau.
Sadar akan kebutuhan untuk memenuhi kehidupan warga pulaunya yang sebagian besar bergantung dari sisi pariwisata, Bali terus berupaya mengejar upaya sebagai destinasi wisata yang bersih, sehat, dan bisa melacak turisnya demi kebutuhan penelusuran Covid-19 jika dirasa perlu.
Aktivis Pariwisata Indonesia sekaligus Founder Temannya Wisatawan, Taufan Rahmadi, mengatakan Indonesia tidak bisa bermain-main dengan standar pelayanannya. Faktor cleanliness, health, safety, and environmental sutainability (CHSE) untuk pariwisata dan ekonomi kreatif perlu diwajibkan.
"Banyak negara yang jauh lebih tegas dan tertib di masa new normal. Kita tidak bisa main-main dengan standar pelayanan," kata Taufan kepada Republika.co.id, Ahad (23/8).
Sertifikasi CHSE direncanakan akan dimulai pada September 2020. Namun, sertifikasi bersifat sukarela namun gratis. Taufan mengatakan, pada masa krisis saat ini, pemerintah memang harus meringankan para pelaku industri parekraf dari berbagai biaya.
Sebaiknya memang diwajibkan untuk seluruh pelaku usaha asalkan sertifikasi yang dilakukan juga setara dengan standar global yang mengacu kepada UNWTO. "Sertifikasi menjadi standardisasi, acuan dari apa yang harus dilakukan. Kualitas produk, layanan, itu harus dapatkan penilaian dan pengakuan agar para wisatawan menjadi tenang," ujarnya.
Taufan mengatakan, manfaat utama yang diperoleh dari adanya sertifikasi yakni pengakuan terhadap pelaku industri terkait secara resmi. Terutama pengakuan bahwa industri terkait sudah punya kualitas dalam menjalankan standardisasi pelayanan ke wisatawan. Hal itu nantinya akan berdampak pada persepsi wisatawan baik asing maupun domestik.
"Ini untuk menghadirkan rasa tenang kepada wisatawan ketika mereka berkunjung tentu ini akan sangat efektif," kata Taufan.
Sesuai rencana dari Kemenparekraf, pada Agustus 2020, pemerintah fokus untuk mensosialisasikan dan uji coba sertifikasi CHSE di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif. Pada sektor pariwisata di antaranya mencakup hotel, restoran, destinasi daya tarik, homestay, usaha perjalanan wisata, pemandu, SPA, MICE, serta wisata minat khusus. Adapun untuk ekonomi kreatif yakni menjangkau bioskop, seni pertunjukan, musik, seni rupa, fesyen, kuliner, kriya, fotografi, dan permainan.
Selanjutnya mulai September hingga Desember 2020, proses verifikasi dan sertifikasi direncanakan akan dimulai. Tim sertifikasi selain dari Kemenparekraf bakal melibatkan Kementerian Kesehatan, serta sejumlah asosiasi seperti Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) dan Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita).
Selain itu masih ada banyak langkah yang diambil pelaku pariwisata Bali untuk menjadikan Pulau Dewata destinasi wisata yang sesuai aturan protokol kesehatan di era pandemi. Seperti pembayaran digital berbasis Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS).
QRIS Bank Indonesia menjadi salah satu solusi alat pembayaran digital yang dapat diaplikasikan di semua sektor khususnya pariwisata yang menuntut semuanya harus serba cepat, mudah, murah, dan aman. Selain itu, kata dia, bisa diterapkan di semua sektor mulai dari tiket, pajak, atau untuk memenuhi kebutuhan wisatawan. Wisata di kawasan Luar Lura Uluwatu sudah mulai mengaplikasikan teknologi ini.
Segala upaya untuk memastikan berwisata di Bali bisa bebas Covid-19 tapi tidak akan cukup tanpa kemauan dari wisatawan untuk menahan diri. Kenapa saya mengatakan menahan diri, karena wisatawan harus sadar diri akan kondisinya. Misalnya setelah lelah berwisata alam seharian, mungkin ada baiknya keesokan hari bersantai dulu di kamar hotel. Kondisi badan yang lelah bisa dipulihkan dulu agar tubuh lebih kuat. Ingat Anda berwisata di saat pandemi Covid-19 masih belum ada obatnya.
Jadilah wisatawan yang cermat akan situasi. Pilih kafe, restoran yang memiliki kawasan luar ruang. Ingat kasus penyebaran Covid-19 di Starbucks Seoul? Pemicunya sederhana saja, ruangan tertutup dengan sirkulasi udara kurang baik diduga memicu penyebaran Covid-19. Ditambah lagi faktor AC membuat virus dengan mudah berkelana di ruangan.
Saat makan atau minum, tentu masker harus dibuka, ketika itu justru menjadi momen bagi virus masuk ke tubuh. Bersikaplah cermat saat bertemu dengan tempat makan, kafe, kedai kopi. Opsi makan dibungkus atau diseruput di luar kafe selalu bisa jadi pilihan. Apalagi di Bali, hampir semua tempat makan dan minum yang populer bisa dijangkau oleh layanan jasa antar yang ditinggal diklik lewat ponsel.
Hal yang sama berlaku bagi pemilihan tempat menginap. Pakar mengatakan, pentingnya sirkulasi udara yang terbuka. Saat menginap, pilih kamar dengan balkon atau minimal jendela yang bisa dibuka. Biasakan membuka jendela saat masuk agar memberi kesempatan udara berputar. Hal ini tidak sulit di Bali. Penginapan yang terjangkau sekalipun bisa ditemukan dengan cukup mudah di Bali.
Saya sadar berwisata di tengah pandemi memang penuh dilema. Keluarga dengan anak kecil mungkin harus menahan diri lebih dulu dan memilih berdiam di rumah. Begitu juga dengan mereka yang memiliki penyakit komorbid atau penyakit penyerta yang bisa menambah risiko bila terinfeksi Covid-19.
Apapun pilihannya, pastikan liburan dilakukan dengan kesadaran penuh. Patuhi protokol kesehatan yang sudah ditetapkan pemerintah. Luangkan waktu untuk istirahat. Termasuk menyiapkan diri dan anggaran jika harus melakukan isolasi diri pascaliburan.
Hidup memang harus berlanjut. Di saat vaksin dan obat untuk Covid-19 belum ada, satu-satunya pilihan adalah sadar diri dan waspada. Bahwa ada yang sudah bisa dilakukan dan ada yang sebaiknya ditunda dulu.
Dalam kasus liburan, pastikan semua protokol kesehatan dilakukan. Mungkin rasanya bukan seperti liburan karena banyak hal tidak bisa dilakukan, tapi itulah normal baru. Normal baru berarti mau menahan diri demi memikirkan kesehatan diri dan orang lain.
*Penulis adalah redaktur di Republika.co.id