Kamis 27 Aug 2020 11:58 WIB

Peneliti Ungkap Seberapa Dingin Suhu Saat Zaman Es Terakhir

Rata-rata zaman es adalah 6 derajat lebih dingin dari saat ini.

Rep: Puti Almas/ Red: Dwi Murdaningsih
Kutub Utara
Foto: Reuters
Kutub Utara

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim peneliti yang dipimpin oleh Universitas Arizona, Amerika Serikat (AS) telah mengungkapkan suhu di zaman es terakhir. Periode ini terjadi pada 20.000 tahun lalu.

Menurut temuan, suhu saat itu adalah 46 derajat fahrenheit atau sama dengan sekitar 7 derajat celcius.  Temuan dalam studi  telah memungkinkan para ilmuwan iklim untuk lebih memahami hubungan antara peningkatan level karbon dioksida atmosfer yang terjadi saat ini, yaitu gas rumah kaca utama dan suhu global rata-rata.

Baca Juga

Zaman yang dikenal sebagai Glasial Maksimum Terakhir, atau LGM, adalah periode dingin ketika gletser besar menutupi sekitar setengah dari wilayah Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa, dan banyak bagian Asia. Sementara flora dan fauna yang beradaptasi dengan dingin diketahui tumbuh subur.

Jessica Tierney, profesor di Universitas Arizona Department of Geoscience mengatakan tim peneliti memiliki banyak data tentang periode waktu ini karena telah dipelajari begitu lama.

“Tapi satu pertanyaan yang telah lama diinginkan sains untuk dijawab sederhana, yaitu seberapa dingin zaman es?” ujar Tierney, dilansir Heritage Daily, Kamis (27/8).

Tierney adalah penulis utama studi yang menemukan bahwa suhu global rata-rata zaman es adalah 6 derajat celcius atau 11 fahrenheit lebih dingin dibanding saat ini. Secara konteks, suhu global rata-rata abad ke-20 adalah 14 celcius 57 fahrenheit.

“Dalam pengalaman pribadi Anda, hal itu mungkin tidak terdengar seperti perbedaan besar, tetapi, pada kenyataannya, ini adalah perubahan besar,” jelas Tierney.

Tierney dan tim juga membuat peta untuk menggambarkan bagaimana perbedaan suhu bervariasi di kawasan tertentu di seluruh dunia. Di Amerika Utara dan Eropa, bagian paling utara tertutup es dan sangat dingin.

“Bahkan di sini di Arizona, ada pendinginan besar, ”kata Tierney.

Pendinginan paling ekstrem terjadi di kutub

Pendinginan terbesar terjadi di lintang tinggi, seperti Kutub Utara, yang suhunya sekitar 14 celcius atau 25 fahrenheit lebih dingin dari hari ini. Temuan mereka sesuai dengan pemahaman ilmiah tentang bagaimana kutub Bumi bereaksi terhadap perubahan suhu. Model iklim memperkirakan bahwa garis lintang tinggi akan menjadi lebih hangat lebih cepat daripada garis lintang rendah.

Ketika melihat proyeksi masa depan, itu menjadi sangat hangat di Arktik. Ini disebut amplifikasi kutub. Demikian pula, selama LGM, tim peneliti menemukan pola sebaliknya, yaitu garis lintang yang lebih tinggi hanya lebih sensitif terhadap perubahan iklim dan akan terus berlanjut.

Mengetahui suhu zaman es penting karena digunakan untuk menghitung sensitivitas iklim. Ini menunjukkan seberapa besar suhu global bergeser sebagai respons terhadap karbon atmosfer.

Tierney dan timnya menentukan bahwa untuk setiap penggandaan karbon atmosfer, suhu global harus meningkat sebesar 3,4 celcius yang berada di tengah kisaran dengan diprediksi oleh model iklim generasi terbaru 1,8 hingga 5,6 celcius.

Tingkat karbon dioksida di atmosfer selama zaman es adalah sekitar 180 bagian per juta, yang sangat rendah. Sebelum terjadi revolusi industri, level naik menjadi sekitar 280 bagian per juta dan saat ini telah mencapai 415 bagian per juta.

"Perjanjian Paris tentang lingkungan berusaha menjaga pemanasan global tidak lebih dari 2,7 fahrenheit (1,5 celcius) di atas tingkat pra-industri. Tetapi, Tierney mengatakan dengan tingkat karbon dioksida yang meningkat seperti itu, akan sangat sulit untuk menghindari lebih dari 3,6 fahrenheit atau 2 celcius pemanasan,” jelas Tierney.

“Kami sudah memiliki sekitar 2 fahrenheit (1,1 celcius) di bawah ikat pinggang kami, tetapi semakin sedikit panas yang kami dapatkan semakin baik, karena sistem Bumi benar-benar merespons perubahan karbon dioksida,” jelas Tierney.

Karena tidak ada termometer di zaman es, Tierney dan timnya mengembangkan model untuk menerjemahkan data yang dikumpulkan dari fosil plankton laut menjadi suhu permukaan laut. Mereka kemudian menggabungkan data fosil dengan simulasi model iklim LGM menggunakan teknik yang disebut asimilasi data, yang digunakan dalam prakiraan cuaca.

Apa yang terjadi kemudian di tempat prakiraan cuaca adalah tim peneliti mengukur suhu, tekanan, kelembaban dan menggunakan pengukuran ini untuk memperbarui model prakiraan dan memprediksi cuaca. Di sini, mereka menggunakan model iklim National Center for Atmospheric Research yang berbasis di Boulder, Colorado untuk menghasilkan hindcast LGM, lalu memperbarui hindcast dengan data aktual untuk memprediksi seperti apa iklimnya.

Selanjutnya, Tierney dan timnya berencana menggunakan teknik yang sama untuk menciptakan kembali periode hangat di masa lalu Bumi. Jika dapat merekonstruksi iklim hangat masa lalu, maka jawaban atas pertanyaan penting tentang bagaimana Bumi bereaksi terhadap tingkat karbon dioksida yang sangat tinggi dapat dan meningkatkan pemahaman tentang apa yang mungkin terjadi pada perubahan iklim di masa depan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement