REPUBLIKA.CO.ID JAKARTA-– Wakil Ketua MPR RI Dr. Jazilul Fawaid, SQ, MA mengatakan bahwa potensi maritim Indonesia sangat luar biasa besar. Dengan luas lautan yang lebih besar dari daratan, hampir 64 persen kekayaan alam Indonesia ada di perairan dan laut, itu menjadi berkah tersendiri buat bangsa Indonesia. Jika, semua itu dikelola dengan maksimal akan sangat berdampak baik buat kesejahteraan rakyat Indonesia.
“Namun, dari diskusi terakhir saya dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), waktu itu ada pak menteri, ada juga penasehat KKP, saat itu menyampaikan bahwa potensi laut kita, potensi maritim kita itu baru terkelola 20 persen,” ujarnya.
Pimpinan MPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang akrab disapa Gus Jazil ini melihat hal tersebut harus mendapatkan perhatian lebih serius. Sebab, jangan sampai rakyat tidak mendapatkan manfaat yang cukup dari posisi maritim Indonesia yang sangat strategis ini bahkan dikenal sebagai poros maritim dunia. Sebab, jika sebagai poros maritim dunia belum bisa mensejahterakan rakyat maka bisa menjadi pertanyaan, apakah sebutan poros itu nyata atau hanya sekedar jargon.
Hal tersebut diungkapkan Gus jazil saat menjadi pembicara dalam acara Diskusi Empat Pilar bertema ‘Pengelolaan dan Pemberdayaan Wilayah Kepulauan dan Pesisir’ kerjasama Biro Humas MPR RI dengan Koordinatoriat Wartawan Parlemen, di Media Center MPR/DPR RI, Lobi Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (28/8). Hadir juga sebagai pembicara Anggota MPR RI/Wakil Ketua DPD RI Sultan Bachtiar Najamudin, Anggota MPR RI/Wakil Ketua Komisi IV DPR RI H.Dedi Mulyadi yang hadir secara virtual serta Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil KKP RI Muhammad Yusuf.
Politisi kelahiran Pulau Bawean, Gresik, Jawa Timur ini mengatakan bahwa ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk mempercepat dan memperluas serta memaksimalkan pengelolaan potensi maritim Indonesia, diantaranya adalah regulasi atau kebijakan yang berubah-ubah. “Seperti dulu ada regulasi sekian kapal tenggelam sekarang berubah, lalu lobster dulu tidak boleh sekarang berubah,” tambahnya.
Masalahnya, lanjut Gus Jazil, bukan soal perubahan kebijakan tapi sejauh mana seharusnya, kebijakan itu dapat memberdayakan nelayan atau masyarakat di pesisir sekaligus bisa meningkatkan pendapatan. “Intinya, perlu ada konsistensi kebijakan atau regulasi yang berpihak kepada kepentingan masyarakat nelayan dan pesisir,” ucapnya.
Hal lainnya adalah, mesti ada peningkatan sumber daya manusia, teknologi dan infrastruktur. “Saya yakin kuncinya di situ yakni penyiapan SDM yang cukup, fasilitas yang cukup, apakah air bersih, listrik dan lain-lain. Saya kasih contoh dari kampung saya, di pulau Bawean tempat saya lahir. Di laut Bawean banyak ikannya tetapi masyarakat setempat tidak menikmati itu semua, karena tidak ada storagenya atau teknologi penyimpanan ikan, tidak ada industrinya, aliran listrik tidak cukup. Makanya banyak penduduk yang memilih merantau,” ujarnya.
Gus Jazil menegaskan semua itu, perlu sinergitas yang kuat terkait kebijakan dari pusat sampai daerah, yang terukur, terencana dan bisa dikontrol. “Yang juga harus dipahami adalah titik tekan dan dasar dari semua upaya memaksimalkan potensi maritim Indonesia adalah implementasi amanat Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 itu sangat jelas, sejak sebelum amandemen maupun setelah amandemen bahwa perekonomian Indonesia diatur dengan azas kekeluargaan, cabang-cabang produksi yang menyangkut hidup orang banyak dikuasai oleh negara, bumi air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara untuk dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” tegasnya.
Gus Jazil berharap, Indonesia negara kepulauan yang bisa membawa rakyatnya termasuk masyarakat pulau-pulau kecil, masyarakat nelayan dan masyarakat pesisir menjadi sejahtera dan menjadi poros maritim dunia.
Dalam paparan selanjutnya, Sultan Bachtiar Najamudin mengatakan bahwa Indonesia sebagai negara maritim sangat dikenal harum di mata dunia. Bukti-bukti kedaulatan Indonesia di mata dunia tersebut terdapat pada pengakuan dunia terhadap jalur-jalur laut Indonesia dalam Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI).
“Selain menjadi satu pengakuan dunia, ALKI juga berperan dan menjadi bagian dari negosiasi serta posisi tawar tingkat dunia,” katanya.
Hal tersebut, lanjut Sultan, mesti menjadi salah satu pijakan besar untuk mengupayakan maritim Indonesia memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Dalam memberdayakan kawasan maritim yakni kepulauan, laut dan pesisir Indonesia, dikatakan Sultan, mesti mengedepankan beberapa prinsip yakni, keadilan, gotong royong, kerakyatan dan kedaulatan.
“Negara harus hadir dan memastikan bahwa masyarakat di kepulauan dan pesisir serta daerah terluar itu mesti mendapatkan perlakuan yang sama dengan masyarakat Indonesia yang ada di daratan sesuai dengan empat prinsip tersebut dalam bentuk kebijakan serta regulasi,” tandasnya.
Di kesempatan yang sama, Dedi Mulyadi melihat pengelolaan maritim Indonesia juga mesti diperhatikan dari sisi budaya. “Pengelolaan alam mesti berhadapan dengan bagaimana perilaku kita kepada alam. Ketika gunung dibabat sembarangan, sampah dibuang sembarangan maka alirannya itu akan mengarah ke sungai, ujung-ujungnya mengalir ke laut. Ketika laut tercemar maka akan berdampak buruk buat masyarakat di pesisir,” katanya.
Kawasan laut dan ekosistemnya, lanjut Dedi, harus dijaga dan dirawat secara bersama dengan berbagai cara yakni, dengan kesadaran dan dengan regulasi yang memadai serta undang-undang yang cukup diantaranya tidak lagi eksploitasi bibir pantai mulai pasir sampai mangrove-nya dan Tidak boleh lagi ada eksploitasi laut secara berlebihan yang menimbulkan kerusakan dalam jangka panjang.