Sabtu 29 Aug 2020 08:00 WIB

Kemendikbud Diminta Perhatikan Kualitas Operator Seluler

Kemendibud membolehkan dana BOS untuk membeli pulsa dan kuota.

Sejumlah pelajar dan mahasiswa mengikuti proses belajar mengajar dalam jaringan (daring) di atas pengunungan supaya bisa mendapat sinyal di Desa Cangai, Pante Ceureumen, Aceh Barat, Aceh.
Foto: ANTARA/Syifa Yulinnas
Sejumlah pelajar dan mahasiswa mengikuti proses belajar mengajar dalam jaringan (daring) di atas pengunungan supaya bisa mendapat sinyal di Desa Cangai, Pante Ceureumen, Aceh Barat, Aceh.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia sudah memperbolehkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Reguler dipergunakan untuk membeli pulsa atau kuota data guna mendukung pelaksanaan pembelajaran dari rumah. Langkah tersebut dinilai positif Dr Ridwan Effendi, peneliti dan dosen Sekolah Tinggi Elektro dan Informatika (STEI) Institut Teknologi Bandung (ITB). Terlebih lagi di masa pandemik Covid-19 yang saat ini masih melanda Indonesia.

Ridwan berkata, untuk mendukung program pelaksanaan pembelajaran dari rumah, idealnya menggunakan jaringan fixed broadband. Alasannya internet fixed broadband akan jauh lebih handal dan stabil dibandingkan wireless.

“Namun karena penetrasi fixed broadband masih terbatas, maka wireless yang menjadi tumpuan pemerintah dalam program pelaksanaan pembelajaran dari rumah. Oleh sebab itu saya meminta kepada Kemenkominfo untuk dapat memanfaatkan dana USO untuk menggelar fiber optik ke seluruh wilayah Indonesia. Agar seluruh masyarakat Indonesia dapat menikmati broadband yang andal,” ujar Ridwan.

Untuk dapat menjalankan program pembelajaran dari rumah, menurut Ridwan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) atau Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten Kota harus menentukan kebutuhan kuota yang diperlukan untuk kegiatan belajar mengajar. Dari pengalaman yang dimiliki Ridwan, untuk sekali melakukan pengajaran daring dengan durasi 1 jam dibutuhkan setidaknya kuota data 200 mega. Jika satu hari ada 7 jam pelajaran, maka setidaknya dalam satu hari dibutuhkan kuota internet 1,4 giga.

Selain harus mempertimbangkan jumlah kuota yang dibutuhkan, kapasitas dan kekuatan sinyal operator juga harus menjadi pertimbangan penting Kemendikbud dan Dinas Pendidikan di daerah. Sehingga menurut Ridwan harga yang murah bukan jaminan kelancaran proses belajar mengajar secara daring.

Ridwan menjelaskan, saat ini sinyal dan kapasitas operator selular dalam memberikan layanan telekomunikasi tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Khususnya dalam memberikan layanan di daerah pinggiran kota yang tak banyak penduduknya, tidak menguntungkan, serta wilayah Tertinggal, Terluar dan Terdepan (3T).

“Di Jakarta mungkin sinyal seluruh operator telekomunikasi tersedia dengan kapasitas yang hampir seragam. Namun di daerah non perkotaan dan tidak memiliki banyak penduduk, sinyal dan kapasitas operator sangat minim. Bahkan ada operator yang hanya memiliki satu BTS di satu wilayah kecamatan, sehingga membuat sinyal dan kapasitas layanan broadbandnya terbatas,” terang Ridwan.

Agar peserta didik nyaman dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar, idealnya speed yang diberikan ke pelanggan minimal 1,5 Mbps. Karena untuk melakukan pendidikan jarak jauh dengan menggunakan Zoom, Googel Meet, atau layanan tele conference lainnya membutuhkan bandwidth yang cepat dan latency yang sedikit.

Selain bandwidth yang besar, kekuatan sinyal juga harus dimiliki oleh operator agar dapat mendukung proses kegiatan belajar. Minimal operator telekomunikasi selular harus bisa memberikan sinyal 3 bar agar proses belajar peserta didik tidak tergangu.

Jika operator hanya memiliki satu BTS dalam satu wilayah tentu, menurut Ridwan akan mustahil masyarakat mendapatkan kenyamanan dalam proses belajar mengajar. Pasti sinyal tak akan stabil dan speed yang didapatkan mungkin tak akan mencapai 1 Mbps.

Dengan kondisi tersebut, tidak akan mungkin operator melayani peserta didik untuk program belajar dari rumah. Peserta didik hanya akan mendapatkan kualitas video yang buruk dan buffering.

“Kalau operator telekomunikasi mau memberikan layanan yang terbaik bagi peserta didik, mereka harus meng-upgrade kapasitas dan kualitas di daerah tersebut. Sehingga Kemendikbud dan Dinas Pendidikan di Daerah harus bisa memilih serta merekomendasikan operator yang dapat memberikan layanan terbaik. Saat ini baru terlihat pentingnya komitmen pembangunan, sehingga operator yang selama ini memiliki komitmen pembangunan yang tinggilah yang akan dipilih masyarakat. Sementara operator yang mengelak komitmen pembangunan akan tertinggal,” terang Ridwan.

Agar Kemendikbud dan Dinas Pendidikan tidak salah memilih dalam bermitra dengan operator telekomunikasi, Ridwan memberikan saran. Kemendikbud dan Dinas Pendidikan harus menggecek kualitas layanan operator selular ke Kemenkominfo. Ridwan menjelaskan sebaran sinyal dan kualitas layanan operator dilaporkan secara berkala kepada Direktorat Penggendalian Pos dan Informatika Kemenkominfo RI. Jika tidak memungkinkan, Ridwan meminta agar Kemendikbud dan Dinas Pendidikan dapat melihat kualitas dan layanan operator melalui Open Signal.

Dari laporan yang dikeluarkan Open Signal tentang Pengalaman Jaringan Seluler di bulan Juli 2020, Telkomsel masih unggul dalam Pengalaman Video dengan skor 62.9 (dari 100). Dengan ini, Telkomsel juga tetap bertahan sebagai satu-satunya operator di Indonesia yang mendapat penilaian Pengalaman Video Baik (55-65) dari para pengguna. Anak usaha PT. Telkom Tbk, ini juga masih memegang skor tertinggi yaitu 78,4, untuk  Pengalaman Aplikasi Suara melalui layanan Over-The-Top (OTT) dalam aplikasi seperti WhatsApp, Facebook Messenger, atau Skype.

 

Untuk kecepatan unduhan dan unggahan, Telkomsel juga masih menjadi operator terbaik versi Open Signal. Kecepatan unduh Telkomsel rata-rata 14,8 Mbps. Sedangkan kecepatan unggah Telkomsel mencapai 5,1 Mbps.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement