Senin 31 Aug 2020 12:52 WIB

Anjay, Bu Tejo, Dilarang Live Streaming

Jangan memakai kata kurang pantas seperti 'anjay', apalagi berghibah seperti Bu Tejo.

Karakter Bu Tejo dalam film Tilik
Foto: Tangkapan Layar
Karakter Bu Tejo dalam film Tilik

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Karta Raharja Ucu, wartawan Republika (Instagram: @kartaraharjaucu)

Setidaknya dalam tujuh hari terakhir saya membuka media sosial, judul di atas memenuhi time line Instagram, Twitter, Facebook, sampai Whatsapp. Judul tersebut merupakan tiga isu yang sedang asyik jadi bahan warganet menuangkan ke-ghibahannya di media sosial.

Tak percaya, kita mulai dari kata "Anjay". Dalam pencarian Google, hingga saya mengetik tulisan ini, setidaknya ada 4.020.000 pencarian jika Anda mengetik kata "Anjay" di mesin pencari terpopuler sejagat raya tersebut. Pencarian yang terbilang tinggi. Sementara di media sosial, seperti Instagram, warganet, mulai dari warga biasa, komika, komikus, hingga selebgram menggunakan kata tersebut di timeline-nya. Lantas apa penyebabnya hingga kata "Anjay" menjadi buah jari di internet?

Pemicu ramainya kata tersebut di media sosial adalah permintaan dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) agar penggunaan kata "Anjay" sebagai bahasa pergaulan segera dihentikan. Menurut penilaian Komnas PA, pengguna kata itu berpotensi pidana karena salah satu bentuk kekerasan atau bullying.

Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait menjelaskan makna kata "Anjay" bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Jika diucapkan sebagai kata ganti ucapan ekspresi kekaguman, maka "Anjay" tak mengandung unsur bullying. Namun, jika "Anjay" dilontarkan untuk merujuk sebutan kata pengganti satu binatang, maka "Anjay" bisa bermakna merendahkan martabat seseorang lantaran bermakna merendahkan martabat seseorang.

Nah di sini yang dipermasalahkan. Menurut Arist, penggunaan kata "Anjay" berkonotasi penghinaan menjadi salah satu bentuk kekerasan verbal dan dapat dilaporkan sebagai tindak pidana.

Tak ada asap jika tak ada api. Wacana Komnas PA pun disambut "meriah" warganet yang kebanyakan anak-anak muda. Ada yang mendukung, tidak sedikit yang menghujat. Kabar tersebut juga sampai ke telinga anggota Komisi III DPR Arsul Sani yang menilai wacana tersebut over kriminalisasi alias pemidanaan berlebih. Bahkan komika Bintang Emon membuat video ulasan menyindir tentang penggunaan kata "Anjay" dan larangan live streaming di media sosial yang bisa berujung kepada pidana.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata "Anjay" tidak ditemukan. Namun patut diketahui, kata "Anjay" adalah penghalusan dari kata "Anjing" yang digunakan para anak muda sebagai bahasa pergaulan. Perubahan kata tersebut pun menurut saya karena fenomena kesantunan bahasa. Sayangnya, penggunaan kata itu memang kerap berkonotasi tidak baik atau makian meski berbeda makna dengan kata aslinya.

Islam melarang umatnya memanggil orang lain dengan panggilan buruk. Diriwayatkan dari Sayidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, "Sesungguhnya kalian bertanya kepadaku tentang seseorang yang mengatakan kepada orang lain, 'Wahai orang kafir!, 'Wahai orang fasiq!', atau 'Wahai keledai!' Tidak ada hukuman hadd dari syari’at (untuk perbuatan itu). Yang ada hanyalah hukuman ta’zir dari penguasa. Maka janganlah diulangi mengucapkannya lagi!” (Lihat Irwa’ul Ghalil karya Syaikh Al-Albani, 8:54)

Bahkan, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut memanggil orang lain dengan sebut buruk masuk kategori dosa besar. Diriwayatkan dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سِبَابُ المُسْلِمِ فُسُوقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

“Mencela seorang muslim adalah kefasikan (dosa besar), dan memerangi mereka adalah kekafiran.” (HR. Bukhari no. 48 dan Muslim no. 64)

Dalam tinjauan ilmu psikologis, ketika Anda memanggil dengan julukan yang buruk seperti "anjay", "anjrit", "cebong", "kampret" dan kawan-kawannya, sebenarnya sama saja Anda sudah menjelma menjadi seorang penindas alias orang yang melakukan bullying. Sebaliknya, ketika Anda yang mendapatkan panggilan buruk itu, Anda sudah menjelma menjadi korban penindasan.

Penjelasan ini disampaikan Psikolog klinis dan hipnoterapi Liza Marielly Djaprie ketika diwawancarai Republika beberapa tahun lalu. Ia menjelaskan penindasan bisa terjadi karena adanya tiga hal, yaitu adanya kondisi pelaku dan korban yang tidak sama kuat, terjadi berkali-kali, dan direncanakan. Jika ketiga unsur itu dipenuhi, barulah bisa dikatakan bullying. Aksi penindasan itu juga bisa beragam.

"Secara fisik, bullying seksual, ras, financial bullying, siber, dan bullying secara verbal," jelas Liza. Nah, yang paling berdampak buruk pada korban penindasan adalah mereka yang menerima penindasan secara verbal. Liza mengungkapkan, di Indonesia, penindasan secara verbal yang paling marak terjadi dialami anak sampai remaja adalah lewat julukan nama.

Apalagi, penindasan dengan julukan nama yang buruk itu dilakukan melalui media jejaring sosial. "Kalau sudah masuk ke cyber bullying bisa mematikan karena efeknya bukan mimisan atau lebam-lebam, melainkan menikam sekali," jelas Liza.

Mengapa menikam? Efek psikologis yang diterima para korban penindasan secara verbal bisa menurunkan harga diri sehingga membuat seseorang tidak percaya diri dan terjadi dalam jangka panjang. Liza mengungkapkan, dalam beberapa kasus terparah dari korban kekerasan verbal bisa mengalami migrain hingga darah tinggi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement