REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ani Nursalikah*
Sebuah berita yang cukup mengejutkan datang dari dunia film Hollywood. Aktor Chadwick Boseman tutup usia pada 28 Agustus 2020.
Bahkan saking mengagetkannya, berita kematian Chadwick menjadi trending topic dunia. Dunia bertanya-tanya apa penyebab meninggalnya Chadwick mengingat sang aktor tak pernah sekali pun mendeklarasikan masalah kesehatan apa pun.
Kilas balik di 16 April 2020, saat itu Chadwick mengumumkan soal inisiatif membantu upaya memerangi Covid-19 lewat Live Instagram di akunnya. Tetapi, penggemar rupanya salah fokus ke penampilan fisik Chadwick.
Memang tampak jelas wajah pria berusia 43 tahun itu sangat tirus. Penampilannya berbeda drastis dengan saat ia berperan sebagai King T'Challa di Black Panther dimana ia tampil segar, garang, dan berotot.
Banyak komentar yang masuk mempertanyakan fisiknya. Namun, tidak sedikit juga yang mengejeknya. Jauh sebelum live Instagram itu, beredar juga meme Chadwick saat promosi pemutaran awal Black Panther. Wajah Chadwick yang tampak lelah saat melayani media dan penggemar menjadi santapan para pembuat meme.
Beraneka macam komentar miring itu kembali mengingatkan saya bahwa dunia media sosial memang kejam. Saat seharusnya orang-orang fokus dan menyimak isi pembicaraan Chadwick, mereka justru mengomentari penampilan fisiknya. Suatu hal yang tidak seharusnya terlontar, menurut saya.
Seperti firman Allah SWT dalam QS. Al Israa ayat 7 yang berbunyi, "Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri".
Kini setelah penyakit kanker Chadwick terungkap, penggemar ribut menyesalkan perlakuan mereka kepada idolanya. Betapa menurut mereka hal itu sungguh tidak berperasaan. Padahal, di saat yang sama Chadwick sedang menyembunyikan perangnya melawan kanker usus besar.
Ia didiagnosis kanker stadium III pada 2016. Dalam perjalanannya, penyakit tersebut berkembang menjadi kanker stadium IV.
Terlepas dari keputusannya menyembunyikan penyakitnya, sesungguhnya berbuat baik, apa pun jenisnya, wajib dilakukan individu. Hidup di zaman media sosial saat ini memang sulit. Kita pun tidak bisa membatasi kata-kata orang lain. Rasa empati dan sensitif menjadi barang langka.
Bagi sebagian orang mungkin kalimat yang mereka lontarkan tidak berarti apa-apa. Tapi, buat sebagian yang lain, kata-kata yang terdengar biasa saja bisa menyakitkan atau membuat orang sedih. Itulah perlunya kita menempatkan diri dalam posisi orang tersebut dan sekali lagi, berbuat baik. Apa yang terjadi pada Chadwick semakin menguatkan hal itu.
Allah memerintahkan manusia berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya. Kebaikan manusia adalah bekal menuju keabadian di akhirat. Setiap amal manusia akan dibalas oleh Allah sesuai yang ia lakukan tanpa mengubah sedikitpun.
Abu al-Lais as-Samarkandi dalam Tanbih al-Ghafilin mengutip petuah orang-orang bijak, yaitu jika kamu tak mampu berbuat tiga hal ini maka lakukanlah tiga hal lain sebagai berikut.
Bila kamu tak mampu berbuat kebaikan, maka jangan berbuat kejahatan. Jika kamu tak mampu memberi manfaat kepada orang lain, maka jangan menyengsarakan mereka. Ketiga, bila kamu tak mampu berpuasa maka jangan memakan daging manusia atau ghibah.
Kasus Chadwick di atas semoga bisa menjadi pengingat bagi Muslim untuk selalu berbuat baik walau sekecil apa pun. Ingatlah, kalimat merendahkan bisa menyakiti seseorang. Begitu pula dengan kalimat positif, bisa diingat terus dan memotivasi seseorang.
Alangkah bahagianya jika apa yang kita ucapkan bisa berdampak baik kepada seseorang. Membuat seseorang senang bukankah pahala juga.
"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula," (QS. Az-Zalzalah ayat 7-8).
*) Penulis adalah Redaktur Republika.co.id