Rabu 02 Sep 2020 16:31 WIB

Eksperimen Ini Bantu Orang Tua Temani Anak Belajar di Rumah

Dorong anak melakukan banyak aktivitas fisik dan lebih sedikit mengisi buku tugas.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Qommarria Rostanti
Anak belajar di rumah bersama orang tua (ilustrasi).
Foto: www.freepik.com
Anak belajar di rumah bersama orang tua (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Barangkali ini pertama kalinya dalam sejarah pendidikan modern, jutaan murid sekolah di berbagai belahan dunia belajar dari rumah. Orang tua kini menghadapi tantangan mendampingi anak belajar, yang sebelumnya menjadi tugas guru.

Tidak sedikit orang tua yang merasa cemas dan stres menghadapinya. Belum lagi membagi waktu dengan pekerjaan dan urusan rumah tangga. Sebagian besar khawatir tidak memiliki akses dan perlengkapan memadai untuk pembelajaran virtual.

Praktisi pendidikan Inggris, Sarah Stein Lubrano, menyampaikan sebuah informasi yang mungkin bisa meredakan kecemasan para orang tua terkait belajar dari rumah. Dia mengutip eksperimen yang dilakukan seorang kepala sekolah Prancis abad ke-18.

Kepala sekolah Prancis yang bernama Jean-Joseph Jacotot itu mendadak ditugaskan untuk mengajar di Belgia. Anak-anak yang dia hadapi hanya berbicara bahasa Flam (Belanda Belgia), sedangkan dia hanya bisa berbahasa Prancis.

Tidak habis akal, Jacotot meminta para siswa membaca novel Prancis Les Aventures de Télémaque, memberikan masing-masing kamus bahasa Prancis, dan meminta semua anak 'mengajar' diri sendiri. Ternyata, para siswa menikmati proses 'memecahkan teka-teki' itu.

Lubrano mengatakan belajar sering kali tidak ada hubungannya dengan seseorang menuangkan informasi yang benar ke dalam pikiran murid. "Sebaliknya, belajar berkaitan dengan membangkitkan keinginan siswa untuk terlibat tantangan yang menarik," kata Lubrano.

Lubrano melanjutkan, setelah tantangan membaca novel berbahasa Prancis sukses, Jacotot melanjutkan dengan topik lain yang sama sekali tidak dia kuasai, seperti melukis dan bermain piano. Dia menggunakan gaya pengajaran yang disebut "pendidikan universal".

Gagasan Jacotot bersumber dari keyakinan bahwa semua orang punya kecerdasan yang sama dan semua manusia sama-sama mampu belajar. Pandangan itu amat radikal pada masanya, ketika hanya anak laki-laki atau berstatus yang boleh mendapat pendidikan formal.

Menurut Lubrano, tantangan yang dihadapi Jacotot serupa dengan yang dihadapi sistem pendidikan saat ini. Ada ketidaksetaraan akses ke pendidikan dan orang tua hanya tahu sedikit tentang topik yang seharusnya dipelajari anak-anak mereka.

Begitu pula dahulu, mayoritas orang tua di masa Jacotot rata-rata masih buta huruf. Mereka mengajar anak di rumah bukan dengan mengetahui informasi, tetapi dengan mendorong anak untuk mencari informasi dan mengajukan pertanyaan.

Kesimpulan dari eksperimen Jacotot adalah bahwa manusia adalah makhluk yang belajar. Manusia hampir tidak tahu apa-apa ketika lahir tetapi mencari dan mengembangkan kapasitas yang luar biasa. Kemampuan belajarnya semestinya tak perlu diragukan.

"Seperti yang ditunjukkan oleh sejarah dan filosofi, pembelajaran tidak hanya terjadi di ruang kelas dan tidak selalu membutuhkan seorang ahli untuk mengawasinya," ujar Lubrano yang merupakan kandidat doktoral di Universitas Oxford.

Cara mudah yang bisa dilakukan orang tua modern adalah mengajukan sejumlah pertanyaan logis kepada anak di meja makan. Dorong anak-anak melakukan banyak aktivitas fisik, dan lebih sedikit aktivitas mengisi lembaran-lembaran buku tugas.

Konsep ideal bagi Lubrano adalah jika pendidikan ditata ulang dalam konsep di mana siswa memiliki kebebasan dan akses sumber daya yang tepat untuk mengeksplorasi ide-idenya. Jika demikian, secara mengejutkan beragam orang dapat belajar dan mengajar.

Bukan berarti sama sekali tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan dari pembelajaran virtual. Belajar dari rumah artinya anak melewatkan banyak pembelajaran emosional dan sosial yang sangat penting selama masa pertumbuhannya.

Namun, Lubrano mengingatkan untuk fokus pada aspek yang lebih krusial. Orang tua tidak perlu terlalu khawatir memikirkan apakah jumlah jam yang dihabiskan anak-anak untuk belajar lewat Zoom sudah cukup atau belum.

"Pikirkan lebih banyak tentang akses mereka ke sumber daya, dari buku hingga teknologi, yang dapat digunakan untuk menjelajahi dunia di sekitar mereka," kata perancang konsep edukasi dari The School of Life itu, dikutip dari laman The Guardian.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement