Imam Shamsi Ali (Presiden Nusantara Foundation)
REPUBLIKA.CO.ID,Badan Pengelolah Masjid Istiqlal baru saja meluncurkan sebuah gebrakan baru dengan membentuk sebuah badan bernama Majelis Mudzakarah Masjid Istiqlal, disingkat M3I. Majelis Mudzakarah ini menghimpun para ulama, Cendekiawan, dan pakar dengan latar belakang yang ragam.
Terpilih sebagai ketua Majelis Prof. Dr. KH Quraish Shihab, pakar Tafsir Al-Quran dan Cendekiawan yang tidak asing lagi dalam keilmuan Islam di bumi Nusantara. Sementara anggota-anggotanya terdiri dari para pakar, cendekiawan dan ulama Indonesia, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Salah satu tujuan penting dari Majelis tersebut adalah mengkaji dan merumuskan konsep-konsep keagamaan yang berkembang di masyarakat dan dunia, sekaligus memberikan masukan atau rekomendasi ke pemerintah berkenaan dengan isu-isu keagamaan.
Secara resmi Majelis Mudzakarah Masjid Istiqlal diluncurkan dan dibuka secara resmi oleh Imam Besar masjid Istiqla, Prof. Dr. KH Nasaruddin Umar, MA secara virtual pada tgl 2 September 2020 kemarin.
Bersamaan dengan peluncuran itu juga diadakan webinar tentang peranan ulama dalam kontribusi kepada bangsa. Hadir sebagai narasumber antara lain Prof. Dr. Nazaruddin Umar, Prof. Dr. Quraysh Shihab, Prof, Dr. Aqil Husin Al-Munawwar, Prof. Dr. Nadirsyah Husen, dan saya sendiri.
Muslim Indonesia di kancah global
Walaupun tema bahasan webinar sekitar kontribusi Ulama kepada bangsa dan negara RI, saya justru mendadak keluar dari tema dan membahas masalah lain. Hal ini karena pada pemaparan Imam Besar, beliau menjelaskan berbagai program yang ambisius dan visioner Masjid Istiqlal. Satu di antaranya adalah akan menjadikan Istiqlal sebagai pusat pengembangan “imamah” (kepemimpinan) dan da’wah yang tidak saja berskala nasional. Tapi juga akan mencakup ragam program yang berskala internasional.
Oleh karenanya kegalaun panjang saya seolah terusik kembali untuk melemparkan uneg-uneg atau mimpi saya untuk melihat Ulama Nusantara memainkan kembali peranan globalnya.
Sebagaimana saya sering sampaikan di mana-mana bahwa sejujurnya cukup disayangkan melihat kenyataan jika Umat Islam Indonesia, khususnya Ulama di Nusantara, belum memainkan peranannya secara signifikan di dunia internasional. Di Amerika Serikat misalnya kerja-kerja Dakwah atau keagamaan secara luas masih di dominasi oleh Timur Tengah, Asia Selatan atau bisa dikenal dengan IPB (India Pakistan Bangladesh), dan tentunya Afro Amerika.
Indonesia sebagai bangsa dengan penduduk Muslim terbesar dunia ternyata belum terlihat secara signifikan. Bahkan secara tidak langsung kerap masih dipandang sebelah mata. Indonesia dan Muslim khususnya memang belum terlalu dikenal luas di Amerika Serikat.
Satu contoh yang sering saya sampaikan di mana-mana adalah kejadian di Universitas North Florida ketika saya menyampaikan presentasi Islam beberapa tahun yang lalu. Di saat saya mengenalkan diri sebagai Muslim yang barasal dari Indonesian, respon yang saya terima agak dingin. Tapi ada yang menyelah: “are you from Saudi Arabia?”.
Ketika saya jawab bahwa negara Islam terbesar dunia itu ada di Asia Tenggara (Southeast Asia), ada yang nyeletuk: “I think you are from the Phillipine”.
Saya terkejut dengan terkaan itu. Belakangan baru saya sadar bahwa ternyata hal itu disebabkan oleh stigma di benak sebagian orang bahw Konflik yang ada di mana-mana disebabkan oleh Islam. Kebetulan saja di negara Phillipine itu ada konflik Moro.
Pengalaman demi pengalaman itu semakin mendorong saya untuk melakukan apapun yang memungkinkan untuk mengenalkan Islam dan Indonesia. Satu di antara usaha itu adalah dengan mendirikan Nusantar Foundation, sekaligus mimpi besar untuk mendirikan Pondok pesantren Nur Inka Nusantara Madani di Amerika.
Dan ini pulalah yang menjadi motivasi utama kenapa di mana-mana saya menggaungkan agar Umat Islam Indonesia, khususnya pada ulamanya, harus “go internasional”. Masanya mengambil tanggung jawab besar untuk menampilkan Islam yang saya yakin ditunggu-tunggu oleh dunia.
Empat alasan utama
Ada 4 alasan utama kenapa Indonesia harus mengambil peranan besar dalam menyampaikan dan menampilkan Islam di dunia gobal. Alasan-alasan ini sebenarnya sudah sering saya sampaikan di mana-mana. Tapi sebagai pengingat saya kembali sampaikan berikut ini.
Pertama, karena memang dunia kita adalah dunia global yang menuntut bahkan memaksa semua pihak untuk memainkan peranannya masing-masing. Artinya di hadapan semua bangsa saat ini hanya ada satu pilihan. Ikut menjadi pemain dalam dunia global dan menentukan arah perjalanannya. Atau menjadi mainan dunia global yang terkadang tidak berprikemanusiaan.
Maka Indonesia dan Muslim Indonesia harus mengambil bagian penting dari hiruk pikuk dunia global itu. Bahkan dengan segala potensi yang dimilikinya harus menjadi bagian yang dapat menentukan wajah pergerakannya.
Kedua, sejarah Muslim Nusantara adalah sejarah besar. Bahwa peranan Muslim Nusantara, bahkan jauh sebelum negara Indonesia terbentuk dan merdeka, begitu sangat besar dan signifikan di dunia luar. Satu antara catatan sejarah keulamaan Nusantara misalnya adalah Syeikh Yusuf Al-Makassary. Beliau bukan sekedar tawanan Belanda yang dibuang ke Srilanka dan Afrika Selatan. Tapi yang terpenting beliau adalah Ulama besar dan da’i yang berhasil di kancah global.
Maka Muslim Indonesia tidak seharusnya hanya mampu bernostalgia dengan kebesaran masa lalu. Masanya Umat Islam Indonesia, dan ulama Nusantara khususnya, untuk kembali memainkan peranan tersebut.
Ketiga, ditakdirkannya Indonesia menjadi negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia saya yakin bukan karena tanpa hikmah atau makna. Saya justeru yakin bahwa kebesaran Indonesia dalam aspek keislaman merupakan amanah Allah untuk diambil secara serius.
Itulah saya kira yang dipahami oleh para Founding fathers (pendiri) bangsa ini sehingga Konstitusi negara menyebutkan bahwa di antara tanggung jawab bangsa ini adalah ikut menjaga ketertiban dan perdamaian dunia. Sejujurnya Islam yang sesungguhnya dapat menjadi dasar ketertiban dan perdamaian dunia itu. Dan di sinilah tanggung besar Indonesia di kancah internasional.
Keempat, terlepas dari kekurangan-kekurangan yang ada, harus diakui bahwa pemahaman dan pengamalan Islam di Nusantara memiliki wajah yang diimpikan oleh dunia. Wajah itu adalah wajah tersenyum, wajah ramah, wajah yang merangkul, wajah yang visioner, dan seterusnya. Kesemua itu tersimpul dalam ayat: “wa maa arsalnaaka illa rahmatan lil-alamin”.
Di sinilah amanah besar Umat Islam Indonesia dan para Ulama khususnya untuk maju ke garda depan untuk menampilkan Islam yang sesungguhnya itu. Itulah Islam yang rahmatan lil-alamin.
Persiapan yang tangguh
Tentu untuk bisa memainkan peranan besar tersebut bukan hanya dengan emosi dan angan-angan. Tapi diperlukan kesiapan yang mapan. Kesiapan itu mencakup kesiapan intelektualitas dan spiritualitas yang memang solid.
Ilmu atau kematangan intelektualitas itu harus mencapai tingkatan paham. Sebab berilmu saja tidak cukup. Yang diperlukan adalah pemahaman. Tentu paham subtansi Islam (Al-Quran dan As-Sunnah). Tapi tidak kalah pentingnya juga paham tentang lingkungan sekitar.
Dengan Ilmu itu akan terbangun kedewasaan dalam menyikapi setiap permasalahan dunia. Termasuk dunia yang semakin terbuka dan menampakkan keragaman yang pelik (complicated). Kekurang kedewasaan (immaturity) Umat itulah yang melahirkan prilaku sebagian Umat yang terkadang kekanak-kanakan dalam menyikapi perbedaan-perbedaan (keragaman) yang ada.
Tentu selain keilmuan dan pemahaman yang mendewasakan juga diperlukan persiapan lainnya, termasuk kemampuan komunikasi yang mapan. Sejujurnya salah satu kekurangan Umat Islam Indonesia, termasuk pada Ulama, adalah kemampuan dalam komunikasi. Tentu termasuk di dalamnya penguasaan bahasa-bahasa internasional, minimal bahasa-bahasa dominan dunia seperti bahasa Inggris.
Maka saya harus bangga dengan program-program Istiqlal yang visioner, termasuk mempersiapkan Ulama dan du’at yang berwawasan dan berkemampuan global. Satu hal yang menjadi motivasi saya yang memang sejak lama ingin melihat putra-putrì terbaik bangsa ini memainkan peranan signifikannya di dunia global. Termasuk tentunya di bidang keilmuan dan keislaman. Semoga!
New York, 2 September 2020