REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Syarief Hasan menilai revisi UU Bank Indonesia yang sekarang tengah dibahas di Badan Legislasi DPR RI rawan menuai polemik baru. Pasalnya, di tengah pandemi covid-19 yang belum jelas kapan berakhirnya ini, rencana reformulasi sektor keuangan justru akan menyita energi yang tidak perlu, selain kontraproduktif.
“Seharusnya pemerintah lebih fokus pada penanganan covid-19 melalui serangkaian kebijakan yang tepat arah dan terukur. Permasalahan utama saat ini adalah pada kredibilitas sisi birokrasi, bukan justru mengutak-atik sektor moneter, “ ujar Syarief.
Bahkan, pangkal permasalahan bukan saja pada kredibilitas penyaluran anggaran, namun juga akuntabilitas penggunaannya. Berdasarkan rilis Satgas Pemulihan Ekonomi Nasional, Rabu, (2/9), realisasi program penanganan pandemi masih sangat lemah. Bisa jadi realisasi program Perlindungan Sosial sebesar 49,31 persen dan UMKM yang menembus 42,14 persen menjadi kabar yang menggembirakan.
Namun mirisnya, untuk sektor K/L dan Pemda, serapan hanya di angka 14,06 persen. Belum lagi dengan serapan dan realisasi sektor perlindungan sosial dan UMKM, belum mampu mendorong, atau setidaknya menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi yang kini terkontraksi di angka 5,32 persen pada kuartal II tahun 2020 dan akan berlanjut pada kuartal III/2020 Krisis akuntabilitas pemulihan ekonomi nasional inilah yang kemudian menyisakan banyak pertanyaan.
“Apa relevansi antara reformulasi sektor keuangan dengan pemulihan ekonomi nasional dan peningkatan kesejahteraan umum? Apakah dengan revisi UU BI akan mampu meningkatan kinerja sektor moneter dalam mendukung kebijakan penanganan pandemi?” demikian pertanyaan Pimpinan MPR, sekaligus Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat ini.
Menurut Syarief, revisi UU BI hanya akan memutar kembali tuas pengelolaan sektor moneter berjalan mundur seperti di zaman Orde Lama dan Orde Baru. Jika pembentukan Dewan Moneter terjadi, maka independensi BI, yang juga menjadi benchmark bank sentral di seluruh dunia akan teramputasi secara permanen. Jika mengacu pada Pasal 21 s/d Pasal 23 UU No. 11/1953, dan Pasal 9 s/d Pasal 10 UU 13/1968, menyebutkan bahwa Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan Moneter yang bertugas membantu pemerintah dalam menetapkan kebijaksanaan moneter, dan keanggotannya terdiri atas tiga orang anggota yang mempunyai hak suara, yakni Menteri Keuangan, Menteri Perekonomian, dan Gubernur Bank.
“Revisi Pasal 9 UU BI yang mengatur pembentukan Dewan Moneter tidak hanya menghapus independensi BI, namun juga membuka ruang intervensi politik pada pengelolaan sektor moneter. Padahal, bentuk intervensi inilah yang membuat hiperinflasi pada tahun 1960-an dan krisis sistemik pada tahun 1997/1998. Karena itu, kita perlu sangat berhati-hati menyikapi reformulasi sektor keuangan ini, jangan sampai krisis yang pernah terjadi kembali berulang, terlebih dengan ancaman destabilitas perekonomian global yang rawan menyeret pemerintah salah langkah,” ujar Syarief.
Padahal, independensi Bank Indonesia adalah amanat Pasal 23D UUD 1945 yang secara eksplist disebutkan bahwa negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang. Klausul independensi ini tentu harus dimaknai dengan penolakan terhadap segala bentuk campur tangan apapun dalam pelaksanaan tugas Bank Indonesia mengelola sektor moneter. “Padahal dalam kerangka pemeliharaan, pemantauan, dan penanganan krisis sistem keuangan kita telah membentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan, sehingga langkah amputasi independensi BI ini menjadi langkah mundur yang tidak perlu dan rawan,” tutur Syarief.