REPUBLIKA.CO.ID, CHONGQING -- Penelitian terbaru yang dikerjakan ilmuwan militer China menemukan bahwa pasien Covid-19 asimptomatik dan gejala ringan tidak memiliki antibodi virus corona Sars-Cov-2 untuk jangka panjang. Temuan ini menimbulkan kekhawatiran munculnya gelombang pasien Covid-19 yang lebih besar.
Tim peneliti yang dipimpin Dr Ye Lilin dari Institute of Immunology of Army Medical University di Chongqing, China, itu menemukan bahwa sel kekebalan memori terhadap virus SARS-Cov-2 hanya ditemukan pada pasien Covid-19 yang telah pulih dari kondisi parah atau sedang.
Dilansir South China Morning Post, Kamis (10/9), sekitar 80 persen orang yang dites positif Covid-19 memiliki gejala ringan atau tanpa gejala. Komunitas ilmiah pun kini mengkhawatirkan kemungkinan mereka terinfeksi kembali dan menimbulkan gelombang baru yang lebih besar. Sejauh ini, kasus terinfeksi virus corona sebanyak dua kali telah ditemukan di sejumlah negara.
Penemuan baru ini "akan meletakkan dasar untuk merancang vaksin yang efektif secara rasional"," kata Ye dan rekannya dalam makalah non-peer-review yang diunggah di medrxiv.org pada Senin (7/9).
Saat ini, lebih dari 400 kandidat vaksin tengah dikembangkan dan sedang menjalani uji klinis di seluruh dunia. Hasil awal menunjukkan bahwa sebagian besar calon vaksin tersebut dapat menghasilkan berbagai tingkat tanggapan antibodi.
Namun, seberapa lama antibodi yang dihasilkan oleh vaksin itu dapat bertahan masih menjadi pertanyaan terbuka. Sebab, semakin banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pasien yang terinfeksi dengan gejala ringan kehilangan antibodi dengan cepat.
Perbedaan mencolok
Temuan ini dihasilkan dengan mempelajari sampel darah yang dikumpulkan dari hampir 60 pasien di Kota Chongqing. Kondisi mereka berkisar dari yang serius hingga tanpa gejala. Para pasien kemudian dibandingkan dengan delapan sukarelawan sehat yang tidak pernah berkontak dengan virus.
Hasilnya, ditemukan perbedaan "mencolok". Pasien tanpa gejala atau gejala ringan gagal menghasilkan sel untuk melawan virus Sars-Cov-2 yang dapat bertahan lama.
Sel untuk melawan menangkal virus corona itu dinamakan Sel B memori yang dihasilkan oleh sistem kekebalan. Sel B mampu mengenali virus corona dan memproduksi antibodi, bahkan setelah 10 tahun berselang usai terinfeksi.
Sedangkan pada pasien gejala ringan dan tanpa gejala, ditemukan peningkatan sel T. Sel T juga merupakan jenis sel kekebalan yang dapat melawan penyusup asing, tapi tidak secara khusus dapat menargetkan virus Sars-CoV-2. Ye menduga, Sel T itu adalah sisa-sisa infeksi sebelumnya yang disebabkan oleh jenis virus corona lain yang mengakibatkan flu biasa.
Adapun pasien yang telah sembuh dari gejala sedang ataupun parah ditemukan memiliki sejumlah besar sel B memori. Kelompok ini pun disebut lebih siap menangkal serangan ulang dari virus SARS-Cov-2. Sebaliknya, kelompok ini tidak menghasilkan sel T. Penyebab fenomena ini belum diketahui.
Lebih lanjut, Ye mengatakan, pada kedua kelompok itu respons imunnya tak lengkap. Sebab, kedua jenis sel itu diperlukan untuk menangkis serangan virus. Oleh karenanya, Ye mendorong agar pengembangan vaksin memerhatikan kemunculan dua sel tersebut.