Sabtu 12 Sep 2020 14:16 WIB

Di Balik Ambisi Politik Luar Negeri Erdogan

Turki tak ragu menerjunkan kekuatan militernya di negara-negara konflik.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan
Foto: Turkish Presidency via AP, Pool)
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Teguh Firmansyah*

Ketegangan antara Turki dan Yunani memanas dalam beberapa waktu terakhir. Setelah polemik Hagia Sophia, kini kedua negara diributkan dengan sengketa wilayah di Laut Aegea Mediterania Timur yang kaya dengan sumber daya alam.

Bagi Turki, ini adalah kesekian kalinya Ankara berkonflik dengan negara-negara lain. Dari mulai keterlibatan dalam perang di Suriah, konflik di Libya, terlibat dalam perseteruan Azerbaijan, hingga dengan Mesir.

Turki juga berseteru dengan Prancis yang memiliki pandangan berseberangan ihwal konflik di Libya dan Yunani. Turki juga kerap berselisih paham dengan Rusia yang membela Presiden Suriah Bashar al-Assad. Turki pun tak jarang berselisih dengan AS soal Fethuallah Gulen.

Turki juga menjalin hubungan dengan faksi Hamas di Palestina dan kelompok-kelompok di Lebanon. Semua itu menunjukkan bagaimana permainan politik luar negeri Turki yang begitu besar.

Di balik ambisi politik tersebut, ada nama Recep Tayyip Erdogan. Ia sudah memimpin Turki sejak 2003 dari mulai perdana menteri hingga kini sebagai presiden.  Ia merancang perubahan konstitusi yang menguatkan posisi kepemimpinannya sebagai presiden. Lewat amandemen, presiden tak hanya sekedar simbolis, tapi memiliki kewenangan eksekutif.

Politik luar negeri Erdogan sangat dinamis. Hari ini ia bisa mengecam Rusia, namun besok menggandeng Moskow. Hari ini berseteru dengan Beijing soal Muslim Uighur, tapi besok bisa berangkulan dengan Beijing dalam kemitraan dagang. Begitu pun hubungan Amerika Serikat, bisa maju dan mundur.

Erdogan juga tak ragu menerjunkan kekuatan militernya di negara-negara konflik. Seperti halnya yang terjadi di Suriah dan Libya. Militer Turki sangat aktif terlibat dalam pertempuran di kedua negara tersebut.  Turki menyuplai senjata buat milisi anti-Assad di Suriah.

Ankara mengirimkan bantuan militer ke pemerintahan Libya di Tripoli untuk melawan pasukan Jenderal Khalifa Haftar yang didukung Mesir, Uni Emirat Arab, dan Rusia. Berkat bantuan Turki, pemerintah di Tripoli bisa mengadang atau bahkan memukul balik Haftar.

Namun bagaimana pun juga, ambisi politik luar negeri Erdogan sangat terkait dengan politik dan ekonomi di internal Turki. Pertama, pendekatan konflik yang kerap dipakai Erdogan dapat mengonsolidasikan pengaruhnya di dalam negeri. Erdogan membangkitkan semangat nasionalisme yang dapat mendongkrak popularitasnya.

Hal itulah yang terjadi saat Turki menggelar operasi Olive Branch pada 2018 yang ditujukan ke kelompok milisi bersenjata Kurdi. Pada tahun yang sama Erdogan berhasil memenangkan pemilihan meski di tengah tekanan badai ekonomi.

Sama halnya saat pemimpin Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) mengubah kembali Hagia Sophia dari museum ke masjid. Terlepas dari cita-cita politik ke-Islamannya, Erdogan berhasil memompa jiwa nasionalisme rakyat Turki di tengah tekanan yang cukup besar terhadap pemerintahan di Ankara.

Mantan wali kota Istanbul itu menegaskan berulangkali bahwa perubahan ini adalah urusan internal Turki. Amerika Serikat, Eropa, termasuk Yunani di dalamnya tidak berhak untuk mencampuri urusan Ankara.  Atas langkah itu, Erdogan dianggap oleh banyak analis Barat sebagai sosok yang ingin membangkitkan new ottoman, atau Kesultanan Utsmani yang baru.

Alan Mikhail, profesor di bidang sejarah di Universitas Yale dalam artikelnya di TIME bahkan sampai menulis judul "Why Recep Tayyip Erdogan's Love Affair with the Ottoman Empire Should Worry the World."

Mikhail menggambarkan Erdogan sebagai sosok pemimpin yang meniru gaya Sultan  Selim I. Selim I meninggal pada 500 tahun lalu (1520).  Selim membangun kerajaan Ottoman dari sebatas kekuatan regional menjadi kekuatan dunia. Di sinilah yang dikhawatirkan Mikhail karena hal itu hanya akan memicu perang regional, dan monopoli sumber daya ekonomi.

Kepentingan ekonomi

Kedua, di balik ambisi politik luar negerinya, ada kepentingan ekonomi yang ingin dicapai. Langkah Pemerintah Turki dengan mengirim kapal survei ke Laut Aegea Mediterania Timur adalah bagian dari upaya untuk mengeksplorasi kekayaan migas di wilayah tersebut.

Eksplorasi migas dibutuhkan oleh Turki untuk menambah pundi-pundi buat pemasukan negara. Turki butuh pendapatan yang cukup besar untuk menyeimbangkan neraca akibat nilai mata uang lira yang merosot dan berdampak pada beban utang. Turki butuh untuk menggerakkan perekonomian, menekan angka pengangguran dan menahan laju inflasi.

Sejak 2018, nilai mata uang Turki terhadap dolar AS terus mengalami tekanan. Depresiasinya bahkan bisa menyentuh di atas 30 persen. Namun baru-baru ini, dalam pidatonya Erdogan menekankan bahwa era-era serangan ekonomi terhadap Turki telah berakhir. 

Erdogan mengumumkan hal tersebut tak lama berselang setelah Ankara menemukan  cadangan minyak dan gas terbesar di Laut Hitam dengan total 320 miliar meter kubik. Jumlah ini bisa memenuhi kebutuhan energi Turki hingga 20 tahun ke depan.

Karena itu jika Turki berhasil menemukan kembali cadangan migas di Aegean, maka ini akan semakin memperkuat ekonomi pemerintahan Ankara. Kepercayaan rakyat Turki terhadap pemerintahan Erdogan juga semakin meningkat, dan popularitasnya yang dihantam selama ini  kembali pulih. Kekalahan politik di Istanbul oleh oposisi bisa kembali terbayar.

Namun untuk mengamankan wilayah di Mediterania, Turki butuh menjalin hubungan dengan pemerintah Libya di Tripoli yang juga punya garis perbatasan di kawasan tersebut. Turki membutuhkan sekutu untuk menandingi Yunani yang telah meratifikasi perjanjian maritim dengan Mesir.

Karena itu, bagi Turki, mengamankan Mediterania Timur adalah harga mati. Ankara tak akan segan-segan untuk menurunkan kekuatan militernya. Sebaliknya Yunani akan sangat membutuhkan bantuan dari Eropa untuk menyaingi militer Turki.

Satu negara Eropa yang cukup getol untuk 'melawan' Turki adalah Prancis. Presiden Emanuel Macron berulang kali melemparkan perang kata-kata dengan Erdogan. Prancis juga cenderung mendukung jenderal Haftar di Libya daripada pemerintah Tripoli. Namun Turki justru tak takut dan menantang balik Prancis. "Mereka yang terbawa dukungan dari negara-negara bekas jajahan harus belajar sejarah lagi," tegas Erdogan.

Sekali lagi, bagi Erdogan, Aegea dan Mediterania Timur adalah sebuah harga mati buat Turki.

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement