REPUBLIKA.CO.ID, NEWSCASTLE -- Penelitian menemukan bahwa kondisi medis tertentu dapat membuat seseorang berisiko tinggi terserang demensia. Menurut sebuah studi baru yang diterbitkan dalam jurnal Neuron, kondisi itu adalah gangguan pendengaran.
"Studi epidemiologi mengidentifikasi gangguan pendengaran pada pasien paruh baya sebagai faktor risiko independen untuk demensia, diperkirakan mencapai sembilan persen kasus," tulis para penulis dalam laporan tersebut.
Tim peneliti dari Universitas Newcastle di Britania Raya itu menyoroti pula studi epidemiologi yang dilakukan sebelumnya. Satu per sepuluh dari 47 juta diagnosis demensia di seluruh dunia ternyata berkaitan erat dengan gangguan pendengaran.
Atas dasar itu, para peneliti mengevaluasi basis otak untuk mengungkap keterkaitan tersebut. Basis yang dimaksud termasuk patologi umum yang memengaruhi jalur pendengaran, korteks multimodal, dan menipisnya cadangan kognitif.
Secara khusus, tim menganalisis adanya penyimpangan aktivitas menyimpang dalam pola pendengaran, memori kerja, dan pemrosesan objek ketika dikaitkan dengan patologi demensia. Khususnya, pada pasien dengan gangguan pendengaran.
Tim peneliti tertarik mendalami bagian otak lobus temporal, yang terletak di kedua sisi kepala yang sejajar dengan telinga. Bagian otak ini paling sering dikaitkan dengan ingatan sadar dan jangka panjang, juga penyimpanan dan pemrosesan pendengaran.
Sebuah meta-analisis juga dilakukan terhadap 36 studi cross-sectional yang masing-masing mengukur fungsi kognitif dan audiometri nada murni. Hasilnya, ada hubungan signifikan antara gangguan pendengaran dan gangguan kognitif dan demensia.
Ketika faktor risiko seperti jenis kelamin, usia, ras, dan kebiasaan merokok dikendalikan, risiko fungsi gangguan pendengaran cukup meningkat. Sebanyak 41 dari 79 kasus dikaitkan dengan demensia nonvaskular dan 38 kasus demensia vaskular.
Dengan data yang masih terbatas, ini adalah terobosan besar yang membutuhkan lebih banyak studi tambahan. Menurut para peneliti, butuh banyak diskusi lintas bidang, termasuk ahli epidemiologi, dokter THT, dokter demensia, dan ilmuwan umum.
"Kami berharap definisi yang tepat dari mekanisme ini akan mengarah pada pengujian lebih lanjut yang bermanfaat untuk para ilmuwan yang bekerja di level molekuler, saraf, dan sistem," kata peneliti, dikutip dari laman The Ladders, Senin (14/9).