Rabu 16 Sep 2020 17:52 WIB

Mengenal Bahaya Happy Hypoxia pada Penderita Covid-19

Ahli paru meminta penderita Covid-19 dengan gejala batuk selalu waspada

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pokja Infeksi Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PP-PDPI), Erlina Burhan. Ahli paru meminta penderita Covid-19 dengan gejala batuk selalu waspada
Foto: Republika TV/Fian Firatmaja
Pokja Infeksi Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PP-PDPI), Erlina Burhan. Ahli paru meminta penderita Covid-19 dengan gejala batuk selalu waspada

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Orang yang terinfeksi virus corona SARS-CoV2 (Covid-19) dan menhalami gejala sangat memungkinkan mengalami kekurangan kadar oksigen dalam darah (happy hypoxia) yang bisa berujung fatal yaitu penurunan kesadaran. Oleh karena itu, penderita Covid-19 diminta mengenali tanda-tanda happy hypoxia seperti batuk, sesak napas, hingga lemas. 

Terkait hal tersebut Dokter spesialis paru dari Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Jakarta  Timur Erlina Burhan menjelaskan, awalnya orang yang terinfeksi virus ini mengalami batuk yang terus terjadi. Artinya, dia melanjutkan, orang terinfeksi Covid-19 yang mengalami batuk berarti terjadi suatu infeksi sampai ke paru-parunya.

"Padahal kita tahu bahwa pertukaran oksigen dengan karbondioksida terjadi di paru kemudian oksigen ini masuk dalam darah. Namun, karena terjadi kerusakan di paru, oksigen yang masuk jadi berkurang," ujarnya saat bicara di dialog virtual BNPB bertema 'Mengenal Happy Hypoxia, Bagaimana Mencegah dan Gejalanya?', Rabu (16/9).

Akibatnya, ia menyebutkan pasien Covid-19 terus mengalami batuk dan semakin lama merasakan sesak napas karena darah yang beredar di organ tubuhnya kurang oksigen. Pasien, dia melanjutkan, merasakan semakin lemah dan ini menjadi pertanda yang hatus dikhawatirkan. 

Sebab, dia melanjutkan, biasanya pasien membutuhkan suplai oksigen, jadi harus segera dibawa ke rumah sakit (RS). Kendati demikian, ia mengakui kondisi ini tidak terjadi pada beberapa pasien Covid-19.

"Kenapa?karena terjadi kerusakan pada saraf yang mengantarkan pada sensor sesak ke otak sehingga otak tidak memberikan respons. Jadi otak tidak bisa mengenali kejadian kurang oksigen dalam darah," katanya.

Ia menambahkan, dalam kondisi normal ketika terjadi kekurangan oksigen maka ada sinyal ke otak menyatakan tubuh kekurangan oksigen. Kemudian, otak akan memberikan perintah ke tubuh untuk mengambil oksigen sebanyak-banyaknya.

Akan tetapi, dia melanjutkan, kondisi ini tidak terjadi pada beberapa pasien Covid-19 karena terjadi kerusakan pengiriman sinyal ke otak. Menurutnya, sebenarnya kejadian ini sudah lama terjadi. Ia menyebutkan jurnal menyebutkan terjadinya happy hypoxia pada April hingga Mei 2020 namun masih disebut sebagai silent hypoxia. 

Ia menyebutkan, saat itu ada satu kasus happy hypoxia pada seseorang berusia 60 tahun dan jenis kelaminnya laki-laki yang bergejala Covid-19. Kemudian batuk pada pasien ini lama kelamaan semakin parah, pasien semakin lemas, tetapi pasien ini anehnya tidak merasakan sesak napas dan masih bisa melakukan kegiatan sehari-hari, masih bisa mandi, makan, menonton TV, hingga menelpon.

Karena pihak keluarga khawatir melihat pasien ini terlihat semakin lemas maka pihak rumah sakit dihubungi. Kemudian, ia menyebutkan petugas RS datang dan melihat pasien semakin lemas dan diperiksa dadanya oleh dokter. Kemudian dokter merasa ada kelainan di dalam tubuh pasien dan meminta supaya dibawa ke RS.

"Ternyata setelah diperiksa, kadar oksigen dalam darah pasien itu hanya sekitar 60 persen. Ini rendah sekali dan pasien membutuhkan ventilator padahal kondisi normalnya berkisar antara 95 persen hingga 100 persen," katanya.

Karena itu, Erlina minta pasien Covid-19 yang menunjukkan gejala seperti batuk supaya memiliki alat pengukur kadar oksigen dalam darah (pulse oximetry). Kemudian ketika kadar oksigen rendah, ia meminta pasien segera dilarikan ke RS karena obatnya hanya oksigen.  Kalau tidak memiliki alatnya namun kondisi batuk dan lemas yang memburuk, ia menganjurkan pasien Covid-19 ini segera berobat ke rumah sakit.

"Saya ingatkan, jangan tunggu sesak napas karena pada happy hypoxia tidak mengalami sesak napas. Jadi pasien hanya merasakan demam, batuk, lemas, dan kesadarannya menurun, makanya jangan sampai terlambat," ujarnya.

Kemudian, dia melanjutkan, pasien yang mengalami happy hypoxia ini mendapatkan terapi oksigen untuk mengembalikan kadar oksigennya. Terkait obat untuk pasien yang mengalami gejala ini, ia menegaskan obat yang dikonsumsi pasoen harus lolos uji klinis. Oleh karena itu, Erlina meminta masyarakat yang tidak ingin mengalami happy hypoxia supaya jangan terinfeksi Covid-19.

"Pencegahannya adalah melaksanakan protokol kesehatan dengan memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan (3M). Selain itu, meningkatkan sistem imun dengan makanan yang bergizi, istirahat yang cukup, dan jangan merokok," katanya.

Ia meminta masyarakat benar-benar menerapkannya karena tenaga kesehatan semakin disibukkan karena kasus Covid-19 yang semakin banyak dan kematian yang juga meningkat. Ia menegaskan tidak ada cara lain kecuali mencegah kasus jangan sampai bertambah dan ini bisa membuat tenaga medis dan RS kolaps. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement