Jumat 18 Sep 2020 08:11 WIB

Selamat Jalan, Ya Habibana, Selamat Jalan Abah Alwi

Sepanjang hidupnya, Abah Alwi nyaris tak pernah berhenti bertutur.

Wartawan senior Republika, Alwi Shahab
Foto: Republika/Musiron
Wartawan senior Republika, Alwi Shahab

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fitryan Zamzami

Sepanjang hayatnya, tak terhitung berapa kali orang-orang mencoba mencium tangan Alwi Shahab. Banyak alasan untuk memberikan penghormatan tersebut pada Abah Alwi, sapaan akrabnya. Mulai dari senioritasnya di bidang yang digeluti hingga garis keturunannya yang bisa ditarik ke Rasulullah SAW.

Baca Juga

Jarang sekali ada yang berhasil. Yang kenal dengan Abah Alwi pastinya ingat betapa ia selalu lekas menarik tangannya yang jembar itu selepas bersalaman sebelum sempat dicium. Namun pada sekali waktu, jurnalis Republika, Karta Raharja Ucu berhasil.

Alkisah, beberapa tahun silam, Karta terbilang kerap menemui Abah Alwi untuk mendengarkan kisahnya soal sejarah Jakarta dan Indonesia. Kisah-kisah yang diceritakan Abah Alwi dengan bersemangat itu buat ditayangkan di Republika.co.id. Meski tak lagi dalam kondisi prima, seperti ada nyala api ketika ia mulai berkisah.

"Saya mau dengerin cerita Abah, tapi syaratnya tangan Abah harus mau saya cium," kata Karta satu waktu. Abah Alwi tak kuasa menolak, ia biarkan punggung dan telapak tangannya diciumi.

Sepetik kisah tersebut adalah gambaran betapa Abah Alwi yang berpulang pada usia 84 tahun kemarin adalah seseorang dengan prinsip. Meski begitu, ada gairah lain yang bisa melonggarkan prinsipnya: berkisah. Sepanjang hidupnya, Abah Alwi nyaris tak pernah berhenti bertutur, baik lewat tulisan maupun secara lisan saat ia dikelilingi junior-juniornya di sudut gedung Republika.

Dan amboi, betapa menenggelamkan kisah-kisahnya. Jenis kisah yang hanya bisa datang dari wartawan yang enam dekade mengabdi. Kariernya dimulai tahun 1960 sebagai wartawan kantor berita Arabian Press Board di Jakarta. Sejak Agustus 1963, ia bekerja di Kantor Berita Antara.

Berbagai jenis liputan digelutinya, mulai dari reporter kota, kepolisian, parlemen, sampai bidang ekonomi. Selama sembilan tahun (1969-1978), anak Betawi kelahiran Kwitang, Jakarta Pusat, ini menjadi wartawan Istana.

Pensiun dari Antara pada 1993, ia bergabung dengan Republika. Tanpa kesulitan Abah Alwi langsung beradaptasi dengan lingkungan baru yang dihuni orang-orang muda. Ia tak pernah kalah produktif dibandingkan junior-juniornya.

Sejak di Republika, ia mulai menulis artikel-artikel tentang sejarah kota Jakarta, baik dalam bentuk tulisan lepas, di rubrik kebudayaan, maupun di rubrik Sketsa Jakarta dan Nostalgia. Abah Alwi seolah-olah tidak kehabisan bahan untuk mengangkat permasalahan kota Jakarta, terutama kisah-kisah tempo dulu. Untuk objektivitas penulisan, ia rajin mendatangi narasumber, menelaah berbagai koleksi dan bahan, serta mendatangi tempat yang menjadi bahan penulisannya.

photo
Profil Abah Alwi Shahab - (Republika)

Untuk urusan sejarah dan kisah-kisah Jakarta, bisalah kita menyandingkan Abah Alwi ini dengan Adolf Heuken, penulis buku babon Historical Sites of Jakarta, yang menjadi rujukan. Sedikit perbedaan karakter di antara keduanya adalah kisah Abah Alwi kaya dengan tradisi lisan dan kisah yang ia alami sendiri.

Sedangkan Heuken, pastor Jerman yang menjadi warga Indonesia, berkutat menerjemahkan arsip kolonial Jakarta. Karya keduanya memperlihatkan bagaimana romantisme kehidupan Batavia van Jakarta.

Maka, ketika datang kabar kemarin, bukan biasa kesedihan yang ditimbulkan. "Telah berpulang ke Rahmatullah Alwi Shahab, sejarawan Betawi, wartawan Harian Republika. Meninggal Kamis, 17 September 2020 pukul 03.00," begitu pesan dari keluarganya.

Di kediamannya, di Kompleks Balekambang Asri, Condet, Jakarta Timur, tampak berbagai karangan bunga. Datang dari berbagai pihak, termasuk para pejabat. Di antara keriuhan menjelang prosesi pemakaman, istri Abah Alwi, Syarifah Maryam (74 tahun) nampak mendoakan suaminya.

Ia mengenang, kemurahan hati Abah Alwi memang sudah kebiasaan sejak lama. "Orangnya baik, tanggung jawab sama anak. Sama anak enggak pernah marah. Enggak pernah mukul anaknya," kata Syarifah yang kerap disapa awak Republika dengan panggilan “Umi” saat ditemui di kediaman Abah Alwi pada Kamis (17/9).

Penyakit diabetes yang diderita Abah Alwi sudah sejak umur 40 tahun. Namun, Abah Alwi rajin mengontrol penyakitnya ke rumah sakit dan rajin olah raga. Sebelum ia tidak bisa jalan, Abah rajin bersepeda. Empat tahun terakhir, kondisi Abah memburuk.

Selain sang istri, Abah Alwi meninggalkan enam anaknya. Yusuf Reza Shahab, Lully Shahab, Vera Farida Shahab, Viga Rogaya Shahab, Abdullah Riza Shahab, dan Fetty Fatima Shahab. Selain itu ada 16 cucu dan satu cicit.

photo
Keluarga bersama kerabat bersiap menunaikan salat jenazah wartawan senior Republika Habib Alwi Saleh Shahab di rumahnya di Perumahan Balekambang Asri, Condet, Jakarta Timur, Kamis (17/9). Wartawan senior Republika sekaligus sejarawan betawi meninggal dunia pada 17 September 2020 pukul 03.00 WIB di kediamannya saat menginjak usia 84 tahun. Republika/Thoudy Badai - (Republika/Thoudy Badai)

Umi Syarifah mengingat, ia menikahi Abah Alwi pada 1961. Saat itu, umurnya 17 tahun baru tamat SMA. Sedangkan Abah Alwi berumur 25 tahun. Tak ada hubungan sepesial sebelum ia menikah, kenal dari orang tua, melalui perjodohan.

Abah Alwi, tutur Umi Syarifah, bukan sosok yang romantis, tetapi ia dikenal dermawan. Setiap Jumat, ia rutin memberi sedekah kepada anak-anak masjid.

"Anak kecil sekitar umur 10 tahun setelah selesai shalat Jumat, rutin dikasih. Dia bilang 'Bawa uang bagus nanti dikasih'. Dia kan dipanggil 'Abib'. Pas Abah sakit, dicariin," kata dia.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement