REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terobsesi dengan pola makan sehat justru mengarah kepada kondisi tidak sehat. Kecenderungan ini disebut orthoreksia, di mana seseorang mengikuti aturan makan yang dia buat secara kompulsif, menilai kelompok makanan tertentu sehat dan lainnya tidak.
Cukup sulit menentukan berapa banyak pengidap orthoreksia saat ini, mengingat tidak ada kriteria formal untuk mendiagnosis kondisinya. Pakar diet Meghan Windham dari Texas A&M University mengatakan, gangguan makan ini berbeda dengan lainnya.
Orthoreksia kerap bermula ketika seseorang ingin memperbaiki kesehatan dengan mengendalikan apa yang mereka makan. Motivasi baik itu perlu segera diwaspadai apabila menjadi berlebihan.
"Terutama ketika seseorang mengatur ketat asupan makanan, bukan membuat pilihan per hari," kata Windham.
Jenis makanan yang disukai/tidak disukai pengidap orthoreksia bisa berbeda-beda. Ada yang sangat anti dengan produk susu dan gluten, ada pula yang hanya mau makan apabila santapannya masih mentah dan bukan produk olahan.
Pedoman DSM-5 sebenarnya tidak mengategorikan orthoreksia sebagai penyakit mental. Meski demikian, gejalanya tumpang tindih dengan kondisi lain seperti gangguan obsesif-kompulsif, anoreksia, dan gangguan asupan makanan restriktif lain.
Apabila tidak ditangani, orthoreksia dapat mengarah pada terganggunya kesehatan mental dan fisik jangka panjang, bahkan memicu gangguan makan lain seperti anoreksia nervosa atau bulimia. Karenanya, mengetahui gejala gangguan makan ini sangat penting.
Gejala orthoreksia terdiri dari aspek mental, perilaku, dan fisikal. Gangguan memori, pikiran kaku, gelisah, dan perfeksionis adalah beberapa tanda awal gejala mental orthoreksia. Sementara, pada aspek perilaku termasuk secara obsesif memeriksa label nutrisi pada makanan.
Perilaku lainnya, melihat dahulu daftar menu sebelum menyetujui untuk makan di suatu restoran, bahkan menghindari pergi makan di luar atau acara sosial jika menu tidak cocok. Pengidap gangguan makan ini juga kerap menunjukkan rasa takut terhadap makanan tertentu.
Dari aspek fisik, pengidap ortoreksia berisiko lebih tinggi mengalami defisiensi mikronutrien. Contoh umum nutrisi yang kurang diasup tubuh adalah zat besi, vitamin B, vitamin B12, vitamin D, mineral, dan kalsium, tergantung pada kelompok makanan yang dihindari.
Identifikasi awal terhadap gangguan makan ini penting untuk memberikan intervensi supaya kondisinya tidak semakin parah. Apalagi, pakar diet Paula Quatromoni mengatakan, perilaku obsesif dan kompulsif ini juga sangat berpengaruh pada kehidupan sosial seseorang.
Tentunya seseorang akan merasa tersiksa saat harus selalu mengendalikan apa yang mereka makan ketika berkumpul dengan sahabat dan kerabat. Sebagai konsekuensinya, mereka lebih memilih untuk mengisolasi diri daripada harus bersosialisasi.
Profesor madya di Departemen Ilmu Kesehatan Universitas Boston itu mengatakan, orthoreksia bisa dipicu sejumlah faktor seperti gangguan kecemasan, obsesif kompulsif, dan depresi. Begitu pula tekanan seperti kehilangan pekerjaan, bercerai, atau mulai berkuliah.
Quatromoni mengatakan, kondisi itu membuat seseorang merasa harus memiliki lebih banyak kendali atas hidupnya. Para atlet juga berisiko mengidapnya karena diet menjadi bagian untuk mendukung performa mereka dalam kompetisi olahraga atau mengubah komposisi tubuh.
Penanganan orthoreksia berupa kombinasi konseling nutrisi dan terapi. "Sangat penting berkonsultasi dengan pakar gizi untuk memperbaiki kekurangan nutrisi dan memulihkan kesehatan fisik, serta ahli kesehatan mental untuk menangani sisi psikologis dari gangguan ini," tutur Quatromoni, dikutip dari laman Insider, Sabtu (19/9).