REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Subroto, Jurnalis Republika
Wartawan itu kadang sok pahlawan. Nekat, tidak takut menanggung risiko. Walau nyawa taruhannya, kadang diterjang saja.
Apa tidak takut menempuh bahaya meliput di daerah konflik, lokasi bencana, atau bahkan medan perang? Takut juga sih kadang-kadang. Wartawan kan manusia juga.
Soal takut aku pernah merasakannya. Peristiwa ini terjadi saat meliput gempa di Nias tahun 2005. Hari ketiga di Nias, kami mendengar kabar ada helikopter milik Angkatan Bersenjata Australia yang jatuh di Desa Tuindrao di wilayah Amandraya, Nias Selatan.
Helikopter Westland WS-61 Sea King dengan kode panggil Shark 02 jatuh pada 2 April 2005 sekitar pukul 16.00 WIB. Helikopter itu sedang mengangkut 11 orang.
Saat itu Shark 02 dalam misi menyampaikan bantuan kemanusiaan ke Nias. Nahas, saat akan mendarat di lapangan bola dekat sebuah sekolah, helikopter jatuh dan terbakar. Sembilan orang tewas, hanya dua yang selamat.
Letak Desa Tuindrao sangat terpencil. Akses jalan terputus dihajar gempa. Satu-satunya cara mencapai desa itu dari ibu kota Nias, Gunungsitoli, menggunakan helikopter.
Rombongan Pangdam Bukit Barisan, kapolda Sumut, dan perwakilan Angkatan Bersenjata Australia hendak meninjau lokasi heli yang jatuh. Lima heli disiapkan. Aku bersama reporter dan kamerawan TVRI Medan dibolehkan ikut rombongan. Kami naik heli jenis Belt yang dikhususkan untuk kami bertiga bersama pilot dan seorang teknisi.
Perjalanan ke desa tempat kecelakaan lancar-lancar saja. Heli terbang cukup rendah melintasi pohon-pohon tinggi. Dari atas bisa dilihat banyak rumah yang roboh akibat gempa.
Pada saat turun, teknisi heli mengingatkan agar di lokasi nanti kami jangan jauh-jauh. Heli harus sudah berangkat kembali ke Gunungsitoli pukul 17.00 WIB. “Cuaca sedang tidak bagus kalau sore,” katanya mengingatkan.