REPUBLIKA.CO.ID, oleh Muhammad Hafil*
Miris sekali mendengar kabar dana Bantuan Operasional Pesantren (BOP) ada yang memotong atau ada oknum yang mengambil pungli. Dan, meski sejumlah media ada yang membahasakan pungli dan potongan atas dana bantuan tersebut, tetap saja ada perbuatan menguntungkan diri sendiri yang dilakukan oknum, sehingga bantuan itu tidak penuh sampai ke pesantren.
Laporan adanya pungli atau potongan BOP tersebut muncul dari ormas Islam seperti PBNU maupun lembaga penegak hukum. Dari PBNU, Rabithah Ma'ahid al Islamiyah Nahdlatul Ulama, sebuah lembaga di bawah PBNU yang fokus mengurusi pesantren dan pendidikan keagamaan Islam, menerima laporan dari sejumlah pesantren bahwa dana BOP dipungli atau dipotong.
Menurut RMI PBNU, berdasarkan laporan itu, pelakunya oknum dari sejumlah kalangan, ada yang mengaku dari anggota partai politik, DPR, maupun oknum yang mengatasnamakan RMI PBNU sendiri. Dan, dengan tegas RMI PBNU telah membantah melakukan pungli BOP tersebut. DPR pun telah membantah pungli tersebut, seperti dikutip di Republika.co.id pada 22 September 2020 dengan judul "RMI PBNU Terima Laporan Pungli Dana Bantuan Pesantren".
Sementara, dari kalangan penegak hukum, Kejaksaan Negeri Maros, juga menduga ada pungli BOP atas 21 pesantren dan 14 madrasah, seperti dikutip Republika.co.id pada 22 September dengan judul "Pungli Diduga Terjadi di 21 Pesantren yang Terima Bantuan". Adapun diduga oleh Kejaksaan Negeri Maros, pelakunya adalah oknum-oknum dari Kementerian Agama.
Bantuan untuk pesantren sejatinya adalah bantuan pemerintah sebesar Rp 2,599 triliun untuk pesantren yang terdampak pandemi covid-19. Bantuan itu akan diserahkan ke 21.173 pesantren.
Dan, pandemi covid-19 sebagaimana diketahui sudah ditetapkan berstatus sebagai bencana nasional. Berdasarkan UU Tipikor Pasal 2 disebutkan korupsi dalam keadaaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Dan, dalaam penjelasannya yang dimaksud keadaan tertentu adalah korupsi di masa bencana alam nasional.
Pada awal penanganan covid-19, Ketua KPK Firli juga pernah mengancam pidana hukuman mati bagi orang yang korupsi dana penanggulangan covid-19. Sementara, pungli sendiri juga termasuk bagian dari korupsi.
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Menteri Koordonator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD yang merupakan pakar hukum tata negara itu seperti dikutip di Republika.co.id pada 12 Mei 2020 dengan judul "Mahfud: Korupsi tak Hanya Diartikan Rugikan Keuangan Negara".
Mahfud menjelaskan korupsi jangan hanya diartikan merugikan keuangan negara. Tetapi, korupsi juga merugikan masyarakat dan pemerintah dalam pelaksanaan pelayanan publik.
Menurut Mahfud MD, ada sebuah jenis korupsi yang tidak merugikan keuangan negara tapi merugikan masyarakat dan merugikan pemerintah di dalam pelaksanaan tugasnya. Itu adalah suap dan pungutan liar (pungli).
Melihat dalil-dalil hukum di atas, maka para oknum-oknum pemotong dan pelaku pungli dana BOP itu, berpotensi untuk dikenakan pasal hukuman mati. Ini mengingat pentingnya bantuan itu di masa bencana nasional seperti pandemi covid-19 ini.
Hal tersebut juga bisa menjadi efek lecut atau efek jera kepada para pelaku. Karena, kejadian seperti ini sudah beberapa kali terjadi.
Pada 2018 lalu, dana bantuan rekonstruksi masjid di Lombok yang terdampak gempa lombok, juga pernah dipungli oleh oknum pejabat Kementerian Agama di sana. Pelaku pun sudah dihukum oleh hakim. Namun, hukumannya jauh dari hukuman korupsi saat 'kondisi tertentu' seperti bencana alam. Pelaku hanya dihukum empat tahun penjara.
Sehingga, sungguh tidak manusiawi dan tidak berkeprimanusiaan, jika ada oknum-oknum yang masih saja melakukan pungli, potongan, korupsi, terhadap bantuan di masa bencana nasional ini. Hukuman tegas harus ditegakkan untuk memunculkan efek jera para pelaku.
*) Penulis adalah jurnalis Republika.co.id