REPUBLIKA.CO.ID, Desakan penundaan pemilihan kepala daerah terus menguat. Setelah Ahad kemarin, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menyatakan sikapnya, mengimbau pemerintah menunda pilkada. Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga mengimbau hal serupa, menunda pilkada akhir tahun ini sampai kondisi lebih memungkinkan. Sudah dua ormas Islam terbesar di negara ini bersikap tegas.
Mengapa pemerintah seolah menutup telinga? Apakah kurang jelas situasi pagebluk virus Covid-19 ini di mata pemerintah? Kondisi penyebaran virus belum juga bisa diatasi.
Beberapa hari lalu Indonesia mencetak rekor harian kasus tertinggi, lebih dari 4.100 kasus per hari. Kasus harian Covid dari berbagai daerah terus meningkat. Secara nasional, tidak ada tanda-tanda penurunan tren kasus harian.
Dengan laju kasus harian yang amat cepat, sebenarnya cukup bisa diprediksi, apa yang akan terjadi pada Desember nanti saat pilkada. September, angka kasus harian mencapai 4.000 kasus secara rerata.
Dengan kondisi tetap, tanpa ada perubahan strategi pencegahan pagebluk, kita bisa asumsikan, angka kasus harian mencapai 5.000 kasus per Oktober. Desember, kemungkinan besar sudah mencapai 7.000 kasus per hari.
Tentu saja prediksi kasar ini kita harap tidak terjadi. Kita berharap, pemerintah menemukan strategi yang lebih sangkil (efisien) dan mangkus (efektif) untuk melawan Covid-19 sehingga bisa menahan penyebaran. Tapi, bagaimana bila tidak? Bersiaplah untuk menghadapi yang terburuk, berharaplah yang terbaik pada masa mendatang.
Pemerintah, kita yakin, sudah memiliki angka prediksi kasus harian ini sampai Desember. Mengingat bagaimana ngototnya seluruh lini menteri untuk menyelenggarakan pilkada akhir tahun. Seolah menunda pilkada akan berdampak amat buruk secara politik, sosial, dan kesehatan publik. Benarkah demikian? Kita harus mengkritisi betul posisi pemerintah ini.
Apalagi, argumen yang terus disampaikan para menteri sebe narnya argumen berbasis administratif. Yang dengan sendiri nya, kalau kita melihat situasi kedaruratan pagebluk saat ini, amat bisa didebat kepentingannya. Sehingga yang tersisa dari argumen itu adalah kepentingan politik kelompok belaka.