Ahad 27 Sep 2020 02:09 WIB

Pilkada Nanti Golput Sajakah?

Mempertaruhkan nyawa saat mendatangi bilik suara.

Sejumlah pendukung dan simpatisan pasangan bakal calon Bupati dan Wakil Bupati Asmat, Elisa Kambu dan Thomas Eppe Safanpo berkumpul untuk menyaksikan proses pendaftaran calonnya menjadi kontestan di Pilkada serentak 2020 di KPU Asmat, Papua, Ahad (6/9/2020).
Foto: ANTARA/Sevianto Pakiding
Sejumlah pendukung dan simpatisan pasangan bakal calon Bupati dan Wakil Bupati Asmat, Elisa Kambu dan Thomas Eppe Safanpo berkumpul untuk menyaksikan proses pendaftaran calonnya menjadi kontestan di Pilkada serentak 2020 di KPU Asmat, Papua, Ahad (6/9/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Esthi Maharani*

Pemerintah bersikeras untuk tetap menggelar Pilkada serentak pada 9 Desember 2020. Tanggal ini memang dirancang setelah terjadi penundaan pelaksanaan Pilkada yang seharusnya digelar pertengahan tahun. Namun, perlu diingat, rencana itu dibuat dengan asumsi dan harapan pandemic Covid-19 telah berhasil dikendalikan.

Tapi, faktanya, angka kasus positif Covid-19 terus bertambah. Angkanya pun tak main-main, sudah hampir menyentuh 5 ribu kasus positif Covid-19 setiap harinya. Dengan kondisi penyebaran Covid-19 yang memburuk ini, pemerintah pantang mundur gelar Pilkada 2020.

Saya tak bisa membayangkan berapa banyak orang yang akan tertular dari perhelatan Pilkada. Ketika tahap pendaftaran saja, eksesnya sudah bermunculan dimana-mana. Puluhan calon kepala daerah terkonfirmasi positif Covid-19, begitu pula penyelenggara pemilunya yang satu persatu mengumumkan tertular virus mematikan ini. Bahkan Ketua KPU Arief Budiman sendiri sudah terkonfirmasi positif Covid-19 dan dirawat di RSPAD Gatot Subroto.

Apa kabar orang-orang yang berbondong-bondong ikut mengantarkan calon kepala daerah mendaftarkan diri. Entah berapa puluh, ratus, atau ribuan orang terinfeksi tapi tak terdeteksi. Kalau pun mereka tertular, saya sendiri ragu calon kepala daerah akan peduli dengan kondisi kesehatan para pendukungnya. Dengan membawa rombongan saat pendaftaran saja, saya rasa sudah menunjukkan ketidakpedulian yang teramat sangat.

Bagi saya, ini adalah pertanyaan besar: kalau tertular Covid-19 saat tahapan Pilkada digelar, siapa yang mau peduli?

Ini juga yang menjadi pertimbangan saya pribadi untuk mungkin Pilkada nanti memilih untuk tidak memilih alias Golput. Ngapain milih? Risikonya terlalu besar. Bukan sekadar tak ikut pesta demokrasi atau tak memilih pemimpin, melainkan ini pertaruhan nyawa.

Ingat, kalau tertular, siapa yang mau peduli? Memangnya, calon kepala daerah yang maju di Pilkada peduli? Kalau tertular, apa rumah sakit masih bisa nampung pasien positif dan apa masih ada tenaga kesehatan untuk merawat? Kalau tertular, biaya tak terduga dan biaya yang tidak ditanggung pemerintah mahal lho. Kalau tertular, itu keluarga terdekat bisa ketularan juga dan belum lagi tetangga bisa menatap dengan pandangan berbeda. Kalau tertular, bisa mati lho. Iya, mati. Eh, tapi, di mata pemerintah, kematian Anda hanya dipandang sebagai angka saja sih.

Selain itu, saya sepakat dengan Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra yang sudah mendeklarasikan diri untuk Golput di pilkada nanti. Menurutnya dilaksanakannya pilkada di masa pandemi yang saat ini jumlah kasusnya masih terus meningkat sangat membahayakan kesehatan pemilih. Ia memandang adanya kerumunan massa bisa meningkatkan jumlah warga yang terinfeksi dan meninggal dunia.

"Saya Golput Pilkada 9 Des 2020 sebagai ungkapan solidaritas kemanusiaan bagi mereka yang wafat disebabkan wabah korona atau terinfeksi Covid-19," tulis Azyumardi dalam akun Twitter-nya yang sudah dikonfirmasi Republika, Selasa (22/9).

Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor juga memprediksi jumlah Golput akan meningkat.

"Saya kira mungkin saja (jumlah Golput meningkat) itu terjadi, mungkin ya. Tapi apakah itu kemudian akan menjadi concern bagi elit dan pemerintah, DPR, saya kira tidak juga. Saya kira mau Golput atau tidak, itu tidak menjadi patokan dan harapan dari para elit politik saat ini, itu tetap akan berjalan, mereka cenderung don't care soal itu gitu ya," kata Firman, Selasa (22/9).

Sikap ini sama persis ketika tepat setahun yang lalu aksi reformasi dikorupsi terjadi di DPR. Penolakan dari masyarakat luas tentang pengesahan UU KPK tak ditanggapi pemerintah dan DPR. Keduanya tetap meresmikan UU KPK. Ini memperlihatkan adanya kontinuitas yang mencerminkan bagaimana pemerintah dan DPR itu semakin elitis dan sama sekali tak peduli dengan pandangan dan nasib masyarakat.

Mereka tak peduli dengan keselamatan pendukung atau pemilih. Yang terpenting pilkada digelar dan bisa duduk cantik di kursi pemerintahan, berapa pun suara yang diperoleh, berapa pun besarnya Golput, dan berapa pun nyawa yang harus melayang karena ini. Kalau kepala daerah itu terkena Covid-19 nanti biayanya ditanggung negara. Sedangkan kalau Anda yang terkena Covid-19, ya silakan pusing sendiri. Kalau bisa minta tolong saja sama calon kepala daerahnya. Itu juga kalau mereka ingat pada Anda.

Lagi pula, pemimpin yang mencalonkan itu lagi itu lagi. Bisa dilihat kan kalau yang mencalonkan diri ya anak dari si itu, besan dari bapak itu, keponakan dari si itu tuh, saudaranya itu juga, atau saudara dari saudara sanak keluarga yang saudaranya saudaraan. Ribet ajalah tapi ya lingkarannya itu-itu juga yang sama tak pedulinya pada Anda.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement