REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdullah Sammy, Jurnalis Republika
Ada beragam kisah menarik yang saya alami ketika menjadi wartawan desk olahraga. Bagi wartawan olahraga, 'berangkat hajinya' adalah saat meliput Piala Dunia dan Olimpiade. Saya beruntung pernah merasakan salah satunya yakni Olimpiade 2012 di London.
Agenda Olimpiade London 2012 cukup menantang. Sebab kala itu yang jadi ketua kontingen adalah bos saya sendiri, Erick Thohir. Tantangan paling besar adalah waktu pelaksanaan Olimpiade yang bertepatan dengan Puasa Ramadhan.
Sebagai informasi, saat itu puasa berlangsung pada bulan Agustus. Saat musim panas, matahari terbenam di wilayah Inggris sekitar pukul 21.30 WIB. Itu berarti saya mesti menjalani puasa selama sekitar 20 jam.
Di sisi lain saya punya kewajiban meliput aktivitas atlet Indonesia yang lokasinya menyebar dari Wembley di barat laut London hingga ke Olympic Park di timur. Kota London begitu luas. Dari Wembley hingga Olympic Park terbentang jarak 38 kilometer. Kira-kira setara Jakarta-Bogor.
Walau lelah, saya termasuk beruntung. Sebab banyak pengalaman dan cerita unik yang saya dapati saat meliput Olimpiade 2012. Pengalaman pertama langsung tersaji di upacara pembukaan.
Saya berbagi peran dengan Dirut Republika, Daniel Wewengkang yang saat itu juga turun gunung untuk memotret momen-momen Olimpiade. Pak Daniel hadir langsung mengabadikan foto momen saat pembukaan di dalam stadion. Sedangkan saya menyaksikan pesta pembukaan di Hyde Park.
Di Hyde Park, acara ditandai seremoni pembukaan oleh wali kota London yang kini naik pangkat sebagai PM Inggris, Boris Johnson. Tapi yang paling membuat saya berkesan adalah acara di Hyde Park itu jadi momen Inggris untuk menunjukkan kedigdayaan mereka dari sisi pop culture. Acara menampilkan sederet simbol pop culture Inggris.
Saya beruntung karena bisa menyaksikan penampilan band legendaris Inggris, Duran Duran. Saya ingat band angkatan akhir 70-an itu tampil begitu memikat membawakan lagu Rio sebagai penutup konser.
Setelah pembukaan, fokus saya jadi total beralih ke arah liputan atlet-atlet Indonesia yang berlaga. Sayangnya, saya gagal menjadi saksi sejarah di Olimpiade London. Sebab kala itu Indonesia tak meraih medali emas. Cabang bulu tangkis yang biasanya menjadi tambamg emas, berakhir antiklimaks.
Pasangan ganda campuran Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir yang saat itu menjadi harapan yang tersisa, kandas di babak semifinal. Saya berkesempatan nonton langsung laga tiga set Tontowi/Butet yang menegangkan.
Karena refleks terbawa suasana laga, saya beberapa kali spontan berteriak "sikat!" saat bola udara dismash Tontowi/Butet. Saya tak sadar di Inggris dan negara barat lain, menonton cabang seperti bulu tangkis dan tenis mesti hening. Walhasil beberapa penonton menatap tajam ke arah saya dengan raut wajah marah.
Setelah saya bungkam, giliran penonton Indonesia lain kembali berulah. Kali ini wartawan senior Timbo Siahaan yang berteriak, "Ayo Butet Abang di sini!" celetuk Timbo yang semakin membuat penonton bule gusar.
Selesai pertandingan, rasa kecewa saya dan rombongan wartawan Indonesia sedikit terobati. Kami bertemu bos Panasonic Rahmat Gobel di depan stadion Wembley. Kami pun ditraktir buka puasa oleh beliau.
Setelah buku tangkis selesai melangsungkan laganya, jadwal liputan cenderung lebih landai. Momen itu saya manfaatkan untuk bertemu sepupu yang kebetulan sedang menempuh pendidikan di sana. Saya kemudian meminta diantar ke sejumlah lokasi. Karena lokasi jauh dari hotel, saya dan sepupu memilih menginap di wisma Indonesia yang lokasinya di pinggiran London.