REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terapi panas, seperti sauna dan mandi dengan air hangat, diketahui dapat meredakan stres. Di samping itu, aktivitas tersebut juga bisa membantu mengelola faktor-faktor risiko yang dimiliki penyandang diabetes serta menurunkan risiko terjadinya diabetes tipe 2 pada orang yang belum terkena.
Hal ini terungkap dalam sebuah studi terbaru yang dipresentasikan oleh peneliti Jepang dalam Annual Meeting of the European Association for the Study of Diabetes (EASD). Dalam studi ini, tim peneliti melakukan survei mengenai kebiasaan mandi air hangat yang melibatkan 1.230 pasien diabetes.
Para pasien diabetes tersebut lalu dibagi ke dalam tiga kelompok berdasarkan frekuensi mandi per pekan. Rata-rata para pasien diabetes mandi sekitar 4,2 kali dalam sepekan dengan durasi mandi rata-rata 16 menit.
Seperti dilansir laman Health24, tim peneliti mendapati bahwa semakin tinggi frekuensi mandi air hangat berkolerasi dengan semakin rendahnya berat badan, indeks massa tubuh, lingkar pinggang, tekanan darah diastolik, dan glycated haemoglobin atau HbA1c pasien. HbA1c dapat memberikan gambaran mengenai rata-rata kadar gula darah dalam 120 hari ke belakang.
Dari studi ini, peneliti Jepang menilai terapi panas, seperti mandi air hangat, dapat memperbaiki sensitivitas insulin. Selain itu, mandi air hangat juga dapat meningkatkan konsumsi energi tubuh, mirip seperti olahraga.
Oleh karena itu, tim peneliti Jepang menilai, peningkatan frekuensi mandi air hangat dapat menjadi alternatif yang baik bagi pasien berusia lanjut yang tak dapat melakukan olahraga secara efektif. Selain itu, tim peneliti juga menilai mandi air hangat atau terapi panas secara umum dapat menurunkan risiko terjadinya diabetes tipe 2.
Akan tetapi, ada kemungkinan juga bahwa mandi air hangat lebih sering hanya memiliki hubungan yang "kebetulan" dengan penurunan faktor-faktor risiko diabetes tipe 2. Alasannya, frekuensi mandi yang lebih sering berkaitan pula dengan kecenderungan gaya hidup sehat dan frekuensi olahraga yang lebih sering.