REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdullah Sammy, Jurnalis Republika
Sejak pertama kali didirikan, saya sudah sangat familiar dengan nama Republika. Penyebabnya sederhana. Rumah saya tak jauh dari Jalan Buncit 37 yang merupakan kantor pusat media yang diinisiasi ICMI ini.
Seperti makan obat, saya dua sehari melintasi gedung Republika. Tiap pagi dan petang. Setiap berangkat dan pulang sekolah menuju rumah.
Saya terikat lebih dalam dengan Republika sekitar tahun 1998. Tahun yang mana saya mulai gila-gilanya dengan sepak bola.
Salah satu koran wajib yang saya baca adalah Republika. Namun ini hanya berlaku akhir pekan yang mana ada suplemen khusus olahraga.
Di luar akhir pekan, saya membeli Republika hanya dalam kondisi darurat. Maksud dari kondisi darurat adalah apabila di hari Senin atau Kamis sore, Tabloid Bola atau Gema Olahraga belum sampai ke loper langganan saya. Dalam otak saya hanya Republika yang bisa jadi alternatifnya.
Kebiasaan membaca Republika tetap saya lakukan saat memasuki bangku kuliah pada 2004. Sejak jadi mahasiswa baru, hanya dua alasan yang membuat saya masuk perpustakaan. Bukan untuk baca buku melainkan untuk baca koran. Koran yang saya baca hanya dua, Kompas dan Republika.
Kisah saya dan Republika berlanjut saat saya baru lulus kuliah pada 2009. Kalau tidak salah, saat itu memasuki bulan April 2009. Saat itu, saya ingat bahwa ijazah kelulusan baru saya terima di Rektorat UI. Pulang dari menerima ijazah plus fotokopi legalisir, saya melintasi Jalan Warung Buncit.
Saya menaruh CV di Republika secara spontan. Saya tak pernah tahu bahwa Republika buka lowongan. Sebab pikir saya melempar CV dengan random dan hanya sekedar iseng saja, sebab dekat rumah. "Siapa tahu ada yang nyangkut," pikir saya.
Padahal semasa kuliah saya paling benci dengan kegiatan tulis menulis. Bahkan pada sebuah kesempatan saya pernah berucap, "Gak bakal deh kerja jadi wartawan yang ngetik berita tiap hari." Sebab pada dasarnya saat itu saya lebih suka membaca berita, tapi benci menulisnya.
Namun saya seperti terkena tulah dari ucapan sewaktu kuliah itu. Jadi nilai moralnya jangan pernah terlalu membenci karena bisa jadi suatu saat kau mencintainya.
Sepekan setelah menaruh CV, saya dihubungi pihak Republika untuk menjalani tes. Lucunya proses tes membuat kesan saya tentang Republika berubah 180 derajat. Sebab dalam bayangan saya, isi Republika adalah orang-orang yang mayoritas jidat hitam dengan celana cingkrang.
Ternyata isi Republika itu benar-benar berwarna. 'Jidatnya' ada yang warna kuning, merah, bahkan abu-abu. Banyak latar pemikiran, prinsip, dan gaya yang berbeda.
Singkat cerita saya diterima bekerja di sana. Saat diterima otak saya baru berpikir, "Saya mau kerja pada kegiatan yang paling saya tak suka: menulis!"
Namun niat untuk mundur dari pekerjaan saya tepikan sesaat. Sebab di sisi lain, saya ingin coba-coba dahulu merasakan seperti apa dunia wartawan.