REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Endro Yuwanto*)
James Rodriguez. Saya mengenal lekat nama pesepak bola asal Kolombia ini sejak Piala Dunia 2014 di Brasil. Aksinya bersama timnas Kolombia membetot perhatian saya, meski nama-nama tenar seperti Neymar, Cristiano Ronaldo, Robin van Persie, dan Lionel Messi juga tampil di Negeri Samba.
Permainan Rodriguez kala itu begitu mengesankan. Ia pintar, atraktif, dan konsisten. Tak heran jika ia berhasil mengemas enam gol untuk Los Cafeteros dan meraih penghargaan Golden Boot sebagai top skorer sepanjang perhelatan Piala Dunia 2014.
Tak hanya itu, Rodriguez juga mencatatkan namanya sebagai pencetak gol terbaik Piala Dunia 2014. Gol pemain yang saat itu berusia 22 tahun tersebut lahir lewat tendangan voli spektakuler ke gawang Uruguay di Babak 16 Besar.
Selain piawai mencetak gol, Rodriguez juga memberikan dua assist untuk membantu rekan-rekannya mencetak gol. Aksi-aksi sang gelandang serang ini pun mengantar timnya lolos hingga ke babak perempat final.
Kiprah Rodriguez di Piala Dunia 2014 sudah cukup bagi saya untuk menjadikannya sebagai salah satu idola. Jika banyak penggemar sepak bola mengidolakan sebuah tim sepak bola, entah itu di timnas, di klub seperti di Inggris, Italia, Spanyol, Jerman, atau mungkin klub lokal, maka itu tak berlaku bagi saya. Sebagai penikmat sepak bola sejak lama, saya tak pernah fanatik menggemari sebuah klub.
Kegemaran saya justru mengerucut pada individu si pemain yang nantinya berimbas pada sebuah klub yang saya dukung di setiap pertandingannya. Pada tahun 1980-an, saya mengidolakan Marco van Basten sehingga AC Milan sempat menjadi klub favoritnya saya. Pada 1990-an, pemain idola saya adalah Gabriel Batistuta sehingga saya pun turut menggemari Fiorentina.
Pada awal tahun 2000-an hingga sekitar 2018, saya menjadi salah satu fan Fernando Torres. Klub-klub yang pernah dibela Torres, seperti Atletico Madrid, Liverpool, dan Chelsea pun menjadi tim yang saya dukung untuk memenangkan setiap laga.
Kegemaran saya terhadap Torres hampir bersamaan dengan kegemaran pada Rodriguez. Wajar bila Real Madrid, Bayern Muenchen, dan kini Everton menjadi klub favorit saya.
Setelah bergabung dengan Everton di awal musim ini, nama Rodriguez sedang banyak dibicarakan oleh para penggemar Liga Primer Inggris. Ini tidak lepas dari penampilan gemilangnya bersama Everton dalam empat laga awal musim dengan mencetak tiga gol dan dua assist.
Rodriguez didatangkan Everton dari Real Madrid di awal musim ini dengan status bebas transfer. Ia tersingkir dari skuat Real Madrid setelah Zinedine Zidane tak memasukkannya dalam rencana masa depan Los Blancos. Selama memperkuat Madrid dari tahun 2014 sampai 2020, kariernya memang naik-turun bak roda. Hantu cedera juga kerap membekapnya.
Setelah selalu menjadi 'anak tiri' Zidane, Rodriguez pun memutuskan untuk bereuni dengan mantan pelatihnya, Carlo Ancelotti, di Everton. Keduanya pernah bekerja sama di Madrid, Muenchen, dan kini Everton. Rodriguez mengaku selalu menikmati masa-masa indah bersama Ancelotti. Ia bak 'anak kandung' Ancelotti di lapangan hijau.
Saya pun turut senang, setelah Rodriguez terpontang-panting tidak jelas di dalam skuat Madrid era Zidane, kini ia kembali menunjukkan tajinya di benua Eropa. Saya senang Rodriguez kembali murah senyum, ceria, dan tertawa lepas seperti dulu. Raut wajah semingrah seperti itu sudah cukup sulit saya saksikan saat ia membela Madrid di bawah besutan Zidane.
Saya paham dan mungkin bisa merasakannya. Rodriguez hanya ingin memainkan sepak bola dan bahagia di sana. Iya saya paham. Apalagi yang dicari di sepak bola jika bukan untuk kesenangan, kegembiraan, keriaan, dan kebahagiaan. Jika tak menemukan itu semua, lantas buat apa sepak bola?
*) Jurnalis Republika Online