Senin 05 Oct 2020 06:17 WIB
Cerita di Balik Berita

Liputan ke Iran: Diinterogasi Tentara di Bandara

Saya dilarang keluar dari ruang imigrasi bandara sebelum jelas tujuan datang ke Iran.

Ahmad Syalaby Ichsan, Jurnalis Republika
Foto: Dokumentasi Pribadi
Ahmad Syalaby Ichsan, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syalaby Ichsan, Jurnalis Republika

Penugasan ke luar negeri menjadi bonus bagi saya yang baru bekerja tiga tahun sebagai wartawan. Negara yang dituju pun bukan sembarang. Negeri para mullah, Iran.

Liputan ini tergolong ‘ngeri-ngeri sedap’ karena Iran ketika itu sedang diblokade Barat. Ahmadinejad, seorang insinyur yang menjadi presiden negara syi’ah terbesar di dunia itu keukeuh melanjutkan program nuklir dan menentang ancaman Amerika dan Eropa. Akibatnya, ketegangan kerap terjadi di negeri warisan Kekaisaran Persia itu.

Saat itu, saya ditugaskan bukan untuk meliput ketegangan politik luar negeri di Iran. Kebetulan, Republika diundang untuk menghadiri International Conference of Youth and Islamic Awakening yang berlangsung pada 29-30 Januari 2012. Sebuah konferensi yang mengumpulkan para pemuda dari berbagai negara Muslim untuk membahas isu-isu aktual tentang keislaman.

Negeri Sunni dan Syi’ah diundang. Demikian dengan pemuda dari perwakilan negara yang sedang dan rentan konflik seperti Palestina, Irak, Afganistan dan Libanon.

Tidak ada yang mengantar dari panitia atau pihak kedubes untuk terbang ke Teheran. Untuk transportasi pun, pihak Kedutaan Besar Iran di Jakarta meminta kantor untuk menalangi dulu. Ongkosnya bisa di-reamburse oleh panitia sesampainya saya di ibu kota Iran itu.

Seperti lazimnya rencana keberangkatan ke luar negeri, saya harus membuat visa di kantor kedutaan yang beralamat di Jl HOS Cokroaminoto, kawasan Menteng itu. Semua berjalan lancar sebenarnya. Pihak atase pers Kedubes Iran memberi beberapa petunjuk untuk bisa sampai ke Bandara Internasional Imam Khomeini, Teheran. Yang paling nyaman dan lumayan hemat adalah Qatar Airways. Dia merekomendasikan saya beberapa konter travel di Jakarta yang menjual tiket maskapai tersebut.

Saya pun meminta nomor kontak panitia di sana. “Jangan khawatir. Nanti dari mereka yang akan menjemput,” ujar kawan itu sambil memberi selamat kepada saya, “Have a nice flight.”

Saya masih merasa masih ada yang kurang dalam perjalanan luar negeri pertama ini. Maklum saja, saya akan terbang sendiri tanpa ikut rombongan atau tim dari kedubes setempat. Agar lebih yakin bisa sampai tujuan dengan selamat, saya pun menyambangi kantor Islamic Cultural Center (ICC) yang letaknya berdekatan dengan kantor. Saya meminta nomor kontak WNI di Teheran untuk berjaga-jaga manakala terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Sesudah selesai berburu nomor telepon, saya pulang untuk siap-siap berangkat.

Beberapa pesan penting saya catat baik-baik. Transit di Doha, bawa jas dan jaket tebal, mengganti SIM Card di bandara, dan menukar sebagian bekal dolar dari kantor dengan riyal.

Saya pun mengecek kembali semua dokumen perjalanan seperti paspor hingga KTP. Setelah yakin semuanya sudah dipenuhi, saya berangkat selepas Isya. Pesawat saya dijadwalkan terbang pukul 11.59 WIB.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement