REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG -- Apa yang terlintas dalam pikiran anda seketika mendengar kata “kurikulum”? Rumit, ribet, bertele-tele, tidak fokus, dan merepotkan karena lebih mengutamakan keseragaman format-format dan administrasi ketimbang fokus kepada pelayanan kemampuan anak. Padahal secara hakiki, kehadiran kurikulum seyogiyanya memudahkan guru dalam memberikan layanan kepada setiap anak, dan memudahkan anak belajar mencapai tujuan, yaitu memiliki kompetensi mencakup semua aspek kemampuan sebagai manusia yang berilmu pengetahuan, terampil, dan beradab.
Oleh karena itu, sejatinya, keberadaan kurikulum membuat yang sulit menjadi mudah pelajari (learnable), yang abstrak menjadi mudah diajarkan (teachable) dan terukur ketercapaiannya (measurable), serta dapat dilihat hasilnya secara nyata (observable). Untuk itu, agar pendidikan berjalan efektif, yang dibutuhkan saat ini bukanlah pergantian kurikulum, tapi menyadarkan semua pelaku pendidikan mulai dari birokrat, pengawas, kepala sekolah dan guru perlunya perubahan paradigma dalam mengimplementasikan kurikulum. Tanpa itu, sebaik apapun kurikulum yang dibuat, tetap tidak akan menjamin tercapainya tujuan pendidikan yang kita cita-citakan.
Demikian, beberapa hal yang muncul saat webinar bertajuk “Satu Anak Satu Kurikulum” yang terselenggara atas kerja sama antara Dinas Pendidikan Kabupaten Tangerang, Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Tangerang, dan Penggerak Literasi Tangerang (Pelita), Sabtu (3/10). Webinar itu diikuti 215 peserta. Mereka terdiri dari guru, pengawas, LPMP, dan dosen yang tersebar di seluruh Nusantara.
H Syaefullah, MM, kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Tangerang sebagai keynote speaker mengatakan, pendidikan harus berjalan dalam situasi apapun. “Dunia Pendidikan tidak boleh berhenti, maka masa-masa sulit seperti sekarang ini menjadi ajang pembuktian bagi kita semua apakah kita benar-benar memahami makna pendidikan yang sesungguhnya,” ujarnya seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Keterbatasan kuota, jaringan internet, dan keterbatasan gadget bukanlah alasan untuk pendidikan tidak berjalan efektif. “Semua bergantung pada kepiawaian kita sebagai pendidik mengelola potensi yang ada dan untuk itu pemerintah juga telah melonggarkan aturan pelaksanaan kurikulum,” tuturnya.
Ia menambahkan, guru tidak pernah mengenal jalan buntu, selalu tampil dengan ide-ide kreatif sehingga memunculkan motivasi dari dalam diri setiap peserta didik untuk terus belajar dalam situasi apapun. “Di sinilah mulianya profesi seorang guru, profesi yang tidak pernah mengenal pensiun menebar kebaikan,” kata Syaefullah.
Pakar pendidikan Zulfikri Anas mengemukakan, pada hakikatnya, setiap manusia telah diperhitungkan untuk apa ia dilahirkan.Masing-masing individu mengemban amanah yang berbeda satu sama lain. “Setiap anak menempati ruang atau orbitnya sesuai dengan potensinya. Hal ini membuat setiap anak unggul di bidang masing.Apabila dalam perjalanan hidupnya, seseorang tidak menemukan ruang itu, dapat dipastikan itu akibat kekeliruan dunia pendidikan,” kata Zulfikri yang sehari-hari bertugas di Puskurbuk Kemendikbud.
Menurut Zulfikri, intervensi yang keliru dan berlebihan mengakibatkan seseorang kehilangan ruang yang seharusnya ia tempati. “Apabila ini terjadi, maka semua orang yang berada di dunia pendidikan berutang selamanya kepada anak,” ujar peneliti Indonesia Bermutu itu.
Ia menegaskan, pembelajaran merupakan pengalaman nyata untuk mengolah semua potensi yang ada dalam diri setiap anak (olah pikir, olah, hati, olah rasa, dan olah ragawi) dan penilaian dilakukan untuk memastikan setiap peserta didik untuk mendapatkan hak-hak pendidikan yang sesungguhnya, bukan untuk memvonis mereka.
Menurut dia, konsep ‘Satu Anak-Satu Kurikulum’ yang dicetuskan oleh Yayasan Indonesia Bermutu ini menjadi jawaban terhadap berbagai persoalan malpraktik dunia pendidikan. Melalui konsep ini, pendidikan menempatkan pelayanan prima terhadap setiap individu peserta didik agar mereka menemukan potensi uniknya dan menyadari sejak dini bahwa dirinya adalah penanggung jawab utama terhadap masa depan mereka.
“Hal ini akan memunculkan hasrat dan keinginan yang kuat untuk terus belajar tanpa merasa terbebani. Mereka akan dengan mudah mengelola energinya untuk terus meningkatkan kemampuannya dari waktu ke waktu. Apabila ini terjadi, maka kita tidak perlu nyinyir mengomandoi mereka untuk belajar, apalagi menggunakan ujian untuk mengencam mereka,” papar Zulfikri.
Lia Nurmala, ketua Pelita (Penggiat Literasi Tangerang) mengatakan, kurikulum yang sesungguhnya bukanlah hanya dokumen tertulis semata tetapi bagaimana caranya kita bisa mengantarkan setiap peserta didik untuk mencapai tujuan hidupnya.
“Semua ini mengingatkan kita agar jangan lagi kita terperosok ke dalam kesalahan yang sama, dan menyadarkan kita semua agar kita secara mandiri mampu keluar dari permasalahan yang kita hadapi. Semua jawaban persoalan ada dalam diri kita, sepanjang kita mau dan berupaya menggunakan segala potensi yang ada, maka kita akan menemuan solusi dari setiap persoalan,” ujarnya.
Ihah Parihah, seorang pendidik dan penulis mengatakan, tema webinar ini membuat penasaran para calon peserta. “Satu kurikulum untuk jutaan anak saja sudah membuat guru pusing dan siswa stress, apalagi satu anak-satu kurikulum. Namun, setelah mengikuti webinar ini, saya pastikan, materi Satu Anak Satu Kurikulum akan membuka mata hati setiap pendidik pada hakikat pembelajaran tentang kehidupan yang sesungguhnya,” kata Ilah.
Menurutnya, konsep Satu Anak Satu Kurikulum wajib dimiliki setiap pendidik. Sehingga tidak ada lagi yang menganggap bahwa implementasi kurikulum pada pembelajaran itu membingungkan dan membuat stress.
“Semakin rumit persoalan yang dimunculkan murid membuat guru semakin matang dan makin bijak dalam menghadapi serta mengatasi berbagai persoalan , semakin lebar jalan untuk mendapatkan keberkahan dan nilai amal yang berlipat ganda. Berpikir jernih lakukan tugas dengan benar,” papar Ilah.
Meynia, seorang pendidik dan penulis juga menanggapi positif webinar tersebut. Menurutnya, webinar tersebut membuahkan satu perspektif baru tentang kurikulum. “Kita jadi paham, apa itu kurikulum yang sesungguhnya. Kurikulum itu bersemayan dalam diri manusia. Di tengah masa pandemi ini ternyata banyak dari kita sebagai guru yang merasa bingung dan pusing dengan masih harus menuntaskan semua kurikulum. Semoga ini mampu menyadarkan guru-guru akan makna Satu Anak Satu Kurikulum. Guru dapat memberikan ruang yang luas kepada anak-anak bermasalah dan unik, untuk memberikan pelayanan yang lebih kepada mereka agar dapat mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya,” ujarnya.
Rumondang Sianturi, pendidik dan penulis mengatakan, “Jika kurikulum sebagai proses itu akan fleksibel, kehidupan itu dinamis.Berikan pelayanan terbaik bagi seluruh anak, serta berikan penilaian sebagai alat bukan sebagai vonis.”
Pendiri Pelita Eddy Kusmaya mengatakan Pelita adalah metamorfosis dari Komunitas 4 B (Buat Buku Bareng, Bisa !) Sedangkan 4 B lahir dari inspirasi, motivasi dan hasrat menulis pribadi-pribadi yang kebetulan tinggal di Kabupaten Tangerang.
“Sejak berdiri, Pelita telah melahirkan berbagai karya dari komunitas yang kami kelola berenam: Eddy Kusmaya, Rumondang Sianturi, Mey Nia, Ihah Parihah, Lia Nurmala dan Nafiudin. Webinar ini adalah salah satu bentuk karya kami, ini webinar pertama kami, semoga melahirkan ide-ide kreatif di masa dating,” kata Eddy Kusmaya.
Kiprah Pelita mendapatkan respons positif dari Arfizal Sinaro, ketua Dewan Pertimbangan Ikapi DKI Jakarta dan Pengurus Yayasan Gemar Membaca Indonesia (Yagemi). “Saya melihat ini potensi luar biasa. Kehadiran Pelita benar-benar menjadi penerang dalam kegelapan dunia Pendidikan, khususnya di Tangerang. Ketika para guru menjadi penulis, kita yakin dunia pendidikan akan bangkit dan mampu mengatasi berbagai persoalan yang terjadi. Hal ini mengingat guru sebagai ujung tombak pendidikan mampu keluar dari tekanan dan rutinitas, lalu mengangkat hal-hal nyata yang dialami ke dalam berbagai bentuk tulisan yang menyentuh hati para pembaca, terutama pendidik, peserta didik, dan masyarakat pada umumnya,” kata Afrizal.