Oleh Lusia Andriyani
REPUBLIKA.CO.ID, Masa pandemi Covid-19 sudah lebih dari tujuh bulan. Periode penuh masalah dan cobaan di dunia, terutama Indonesia. Dampaknya dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.
Namun, yang sangat merasakan adalah masyarakat yang minim keahlian, rendah tingkat pendidikan, dan ekonomi yang kembang-kempis. Semua sektor mengalami penurunan drastis, baik sektor pertanian, perdagangan, pendidikan, maupun hiburan -- pariwisata. Sektor terakhir itulah yang paling dirasakan sampai saat ini.
Semua tempat wisata di Indonesia mengalami kelumpuhan. Untuk memperjuangkannya, mulailah bermunculan penggagas wisata virtual. Seperti juga musik virtual, sektor wisata berharap dengan adanya wisata virtual maka kehidupan menjadi lebih baik. Lalu mampukah wisata virtual membantu rakyat? Seberapa besar wisata virtual dapat menyelamatkan rakyat dari keterpurukan?
Taman Margasatwa Ragunan telah mengadakan wisata virtual dengan cara siaran langsung melalui akun Instagram @ragunanzoo. Mereka memperlihatkan aktivitas dua ekor orang utan Sumatra. Tak cukup sampai di situ. Taman Margasatwa mengadakan wisata virtual lagi pada Ahad (17/5), seperti yang diberitakan salah satu stasiun televisi swasta. Kali ini mereka menayangkan satwa karnivora, yakni Harimau Sumatra bernama Hana dan Tino. Program tersebut menyampaikan bahwa wisata virtual ini mendapatkan respon positif dari masyarakat. Terlihat dari jumlah penonton tayangan live di Instastory @ragunanzoo mencapai 5.000 penonton.
Borobudur, salah satu wisata sejarah yang dikenal sebagai bagian dari tujuh keajaiban dunia juga memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berwisata virtual melalui link https://artsandculture.google.com/entity/borobudur-temple-compounds/m0805zhg.
Begitu pun dengan Monas dan museum-museum yang ada di Jakarta. Mereka berlomba-lomba mengadakan wisata virtual. Tujuannya tentu serupa, yakni memperkenalkan wisata tersebut dan memberi hiburan kepada masyarakat yang masih dibatasi langkahnya untuk berwisata. Tentunya, wisata itu memberi dampak positif bagi sebagian masyarakat. Namun, masyarakat lain, seperti pedagang, guide atau pemandu wisata, fotografer belum merasakan dampak dari wisata virtual.
Merekalah rakyat cilik atau wong cilik (red: istilah yang sempat ngetrend), tetap kebingungan karena lumpuhnya sektor pariwisata. Mereka terjebak dalam lingkaran masyarakat lemah ekonomi yang terabaikan perhatian pemerintah. Faktanya, pekerja cilik ini belum mendapatkan efek domino ekonomi dari wisata virtual, setidaknya untuk memenuhi kebutuhan primer sehari-hari. Lantas, siapakah yang harus bertanggung jawab untuk ikut memikirkan nasib mereka?
Kenyataan yang boleh jadi belum dibahas pada level atas. Mari kita ungkap lagi aksi demo pemandu wisata (guide) di Paris. Mereka menuntut dukungan dari pemerintah agar mereka bisa melewati krisis dampak virus corona. Aksi diam dilakukan dengan menutup mulut menggunakan masker bertanda silang biru dan membawa poster Monalisa. Demo ini terjadi karena tuntutan kebutuhan hidup yang tidak terpenuhi. Penutupan tempat-tempat wisata tentu saja berdampak secara langsung.
Apa yang terjadi di Indonesia? Wisata alam dan buatan, baik yang dikelola pemerintah pusat maupun pemerintah daerah di Indonesia mengalami kelumpuhan saat ini. Seperti yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan -- dilansir dari Kompas.com, menyatakan ada 180.000 pekerja sektor wisata yang harus diperhatikan. Sudahkah ini menjadi perhatian?
Sulit sekali menjawab pertanyaan itu karena Indonesia telah memasuki awal masa krisis. Sri Mulyani berpendapat dalam rapat kerja dengan Banggar DPR, Jumat (11/9/2020), “Eskalasi ketidakpastian meningkat untuk tahun 2020 dan mungkin akan berlanjut di 2021.”
Berdasarkan hal itu, sulit sekali pekerja sektor wisata untuk bangkit dan berlari. Wisata virtual yang dilakukan saat ini hanya bisa memberi sedikit ruang gerak untuk pekerja wisata lapisan satu. Pekerja wisata lapisan dua, contohnya, pemandu wisata (guide), fotografer, pedagang yang memiliki kios-kios belum merasakan dampak dari wisata virtual. Apalagi pekerja wisata lapisan tiga, misalnya tukang parkir, pedagang asongan yang kini merasakan beratnya dampak virus corona.
Untuk mengatasinya, pemerintah pusat dan daerah selayaknya bersinergi, memberikan peluang kepada pekerja wisata lapisan dua dan tiga. Pemandu wisata (guide) dan fotografer bisa diberikan pelatihan membuat video dan tulisan yang mengangkat tempat wisata tersebut. Dengan campur tangan pemerintah pusat, video itu bisa disisipkan ke stasiun televisi daerah, TVRI, atau bahkan stasiun televisi swasta. Maka, video wisata hasil karya mereka bisa memberi peluang rezeki. Jika pelatihan itu berupa tulisan, mereka akan memiliki keahlian lain dan berpeluang untuk menjadi bloger atau wartawan wisata.
Bagaimana dengan pekerja wisata lapisan tiga? Pemerintah bisa memberikan pelatihan dan ruang jual beli online produk ciri khas tempat wisata tersebut. Bisa jadi, wisata virtual bekerja sama dengan pekerja lapisan tiga sebagai pemasok produk-produk yang dapat ditawarkan sebagai pelengkap acara tersebut. Maka, simbiosis mutualisme akan berlangsung dengan baik. Ketika ada perputaran uang, tentu menjadi angin segar untuk pertumbuhan perekonomian di Indonesia. Ketika ada aktivitas positif semua lapisan masyarakat, tentu keuntungan akan dirasakan semua pihak.