Kamis 08 Oct 2020 08:18 WIB

Omnibus Law, Masalah Komunikasi dan Mencari Keseimbangan

Ada lima masalah komunikasi dalam pembahasan UU Cipta kerja

Massa membakar motor saat bentrok dengan pihak Kepolisian pada aksi demonstrasi di lingkungan kantor Pemerintah Provinsi Lampung, Lampung, Rabu (7/10/2020). Aksi tersebut sebagai penolakan RUU Cipta Kerja yang telah disahkan oleh DPR RI.
Foto: ARDIANSYAH /ANTARA FOTO
Massa membakar motor saat bentrok dengan pihak Kepolisian pada aksi demonstrasi di lingkungan kantor Pemerintah Provinsi Lampung, Lampung, Rabu (7/10/2020). Aksi tersebut sebagai penolakan RUU Cipta Kerja yang telah disahkan oleh DPR RI.

REPUBLIKA.CO.ID, -- Verdy Firmantoro, Dosen Komunikasi Politik FISIP UHAMKA  dan Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia.

Krisis kesehatan dan krisis ekonomi atas terpaan gelombang pandemi belum usai, kini muncul ancaman krisis kepercayaan publik akibat gelombang Omnibus Law. Upaya pemerintah keluar dari jurang resesi dan jebakan middle income trap dengan payung Undang-Undang “Sapu Jagad” justru disikapi kontra oleh publik secara luas terutama kalangan buruh. Pihak pemerintah dan DPR RI meyakini bahwa strategi itu sebagai jalan membuka kran investasi, tetapi bagi sebagian kalangan justru regulasi itu dinilai mengancam kelestarian lingkungan hidup dan merongrong masa depan rakyat (buruh, nelayan, petani bahkan generasi) di bawah bendera oligarki.

Pertanyaannya, siapa yang diuntungkan dan dirugikan? Mengapa jika UU Cipta Kerja diproyeksikan untuk pembangunan hajat hidup rakyat justru menuai protes yang masif? Bukannya jika itu untuk kepentingan “negara bangsa” bukan “negara korporasi” justru mendapat dukungan publik? Apa yang salah? Siapa yang sedang bermain-main di balik semua ini? Ingat saat ini era cyber-democracy, situasi yang diisi dengan membanjirnya informasi. Salah ucap saja bisa dibui, apalagi salah ambil kebijakan, bisa jadi pertaruhan. Tetapi, saya memandang persoalan terbesar saat ini adalah masalah komunikasi. Krisis kepercayaan publik terhadap pemimpin dan wakil rakyatnya adalah sebuah bencana demokrasi. 

Kontestasi Kepentingan dan Krisis Kepercayaan Publik

Gelombang protes ber-tagar #MosiTidakPercaya; #BatalkanOmnibusLaw; #RUUCilaka #JegalSampaiBatal; #GagalkanOmnibusLaw; #ReformasiDikorupsi; #TolakOmnibusLaw membanjiri jagad media sosial. Tidak berhenti di ruang maya, penetrasi aksi massa juga sudah menyebar di berbagai titik. Praktis pasca disahkan pada 5 Oktober 2020, langsung menuai pro dan kontra. Di satu sisi hadirnya Omnibus Law disambut meriah oleh sejumlah kalangan, namun sebaliknya meradang di pihak yang lain. 

Kalangan yang menyambut positif Omnibus Law tentu pemerintah, DPR RI dan pebisnis. Sementara di lain pihak, gabungan masyarakat sipil, di antaranya buruh, nelayan, petani, mahasiswa termasuk sejumlah ormas seperti PBNU, PP Muhammadiyah berada di barisan menolak Omnibus Law. Pihak-pihak yang pro berdalih bahwa Omnibus Law dapat memuluskan investasi dan mendongkrak ekonomi nasional. Sementara pihak yang kontra memandang bahwa Omnibus Law hanya menjadi “karpet merah” bagi para elite dan oligark serta justru semakin menyengsarakan rakyat. Mereka yang setuju beranggapan bahwa melalui UU Cipta Kerja menjadi solusi menghadapi resesi termasuk berkaitan dengan upaya menciptakan lapangan kerja dan memperlancar birokrasi perizinan, sementara yang menolak cenderung menilai belum dilibatkan secara penuh bahkan beberapa pihak beranggapan dalam perumusan Omnibus Law ada kesan mengesampingkan partisipasi publik yang lebih luas.

Pihak DPR RI dan pemerintah mencoba memberikan klarifikasi atas beragam penolakan yang muncul, mulai dari uang pesangon dihilangkan; Upah Minimum Regional (UMR) dihapus; upah buruh dihitung per jam; semua hak cuti hilang dan tidak diberi kompensasi; outsourching diganti dengan kontrak seumur hidup; tidak ada status karyawan tetap; perusahaan dapat melakukan PHK secara sepihak; jaminan sosial dihilangkan; semua karyawan distatuskan tenaga kerja harian; tenaga kerja asing lebih longgar masuk; buruh dilarang protes jika ter-PHK; serta libur hari raya hanya di tanggal merah bahkan tidak ada tambahan cuti. Semua poin-poin itu ditentang oleh pihak pemerintah dan DPR RI dengan menyatakan informasi yang berkembang itu tidak benar atau hoaks. 

Kontestasi kepentingan dengan memperhadapkan antara pemerintah dan DPR RI vs rakyat tidak menyelesaikan masalah. Bahkan jika meminjam istilah Jay G. Blumer (2018), kondisi seperti itu justru memungkinkan semakin meningkatkan krisis kepercayaan publik akibat eskalasi ketidakpastian politik, fragmentasi opini publik, komunikasi akar rumput yang tidak tuntas termasuk menutup suara-suara alternatif. 

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement