Jumat 09 Oct 2020 11:06 WIB

Kali Angke: Kuburan 10 Ribu Orang Cina di Geger Pecinan

Mayat 10 Ribu orang Cina yang dibantai VOC karena memberontak dibuang ke Kali Angke.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Karta Raharja Ucu
Rumah-rumah orang Cina di dekat Kali Besar, dibakar. Pembantaian 10 ribu etnis Tionghoa pada 9 Oktober 1740 menjadi salah satu tragedi memiliku di Batavia.
Foto: Wikipedia
Rumah-rumah orang Cina di dekat Kali Besar, dibakar. Pembantaian 10 ribu etnis Tionghoa pada 9 Oktober 1740 menjadi salah satu tragedi memiliku di Batavia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hari ini, 280 tahun silam, Batavia pernah banjir darah. Peristiwa yang dikenal sebagai Geger Pecinan itu terjadi di Batavia pada 9 Oktober 1740, di mana 10 ribu etnis Tionghoa dibantai VOC lantaran mereka hendak memberontak.

Dalam buku Betawi: Queen of the East tulisan Alwi Shahab, kala itu Belanda melakukan pembantaian terhadap 10 ribu orang Cina di Glodok. Mayat-mayat yang dibunuh dibbuang ke Kali Angke, sehingga air yang awalnya jernih berubah menjadi merah karena darah.

Menurut bahasa Hokian, kata Ang berarti merah dank e sungai atau kali. Sehingga Angke berarti “kali merah”. Seperti kata angpau yang berarti amplop merah. Namun, menurut budayawan Betawi, Ridwan Saidi, ‘angke’ berasal dari kata bahasa sansekerta ‘anke’ atau kali yang dalam. Karena dulunya kali ini memang dalam.

Tragedi Angke atau yang dikenal dengan Chinezenmoord dalam bahasa Belanda dalam waktu tiga hari, 9 Oktober hingga 11 Oktober 1740. Huru-hara tersebut menewaskan orang Cina baik di dalam kota Batavia maupun di daerah sekitarnya.

Pengamat Warisan Budaya Kolonial Buddhi Dharma, Dr. Lilie Suratminto menjelaskan latar belakang terjadinya peristiwa ini antara lain ketidakpuasan orang-orang Cina terhadap kebijakan pemerintah Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) di Batavia serta situasi politik di dalam tubuh Kompeni sudah mulai memanas. Pembantaian orang Cina juga dipicu oleh dua golongan yakni Prinsgezinden yang mendukung keluarga Oranye dan Staatsgezinden yang antikeluarga Oranye di berbagai sektor.

Baik politik, agama, militer, maupun ekonomi. Kedua ide itu berlawanan dengan keras tanpa memberikan kesempatan apa pun kepada lawan masing-masing. Kabar itu dijelaskan pula dalam hasil penelitannya yang berjudul "Pembantaian Etnis Cina di Batavia 1740 Dampak Konflik Golongan Prinsgezinden dan Staatsgezinden di Belanda".

Lalu siapa Prinsgezinden dan Staatsgezinden?

Prinsgezinden adalah golongan dari kaum feudal atau ningrat yang menyokong kepemimpinan wali negeri (de staatshouder) keluarga Willem van Oranye di wilayah Republiek der Zeven Verenigde Nederlande atau Negeri Republik Belanda Serikat pada abad ke-17. Sementara Staatsgezinden adalah golongan kaum feudal yang anti-keluarga Oranye.

“Setiap ada kesempatan, misal krisis politik, kedua golongan ini berebut pengaruh di pemerintahan dari tingkat daerah sampai ke tingkat pusat. Jumlah pengikut kedua golongan ini pun sangat besar, terutama untuk Staatsgezinden banyak pengikutnya di Amsterdam. Mereka tersebar di berbagai daerah dan kota,” kata Lilie saat berbincang dengan Republika.co.id, Kamis (8/10).

Paham kedua golongan tersebut akhirnya menyusup ke dalam berbagai aspek kehidupan, bahkan masuk sampai wilayah VOC di Asia termasuk Hindia Timur yang berpusat di Batavia. Sampai suatu ketika tampillah dua bersaudara De Witt sebagai pengikut golongan Staatsgezinden yang sangat berpengaruh pada masa pemerintahan Republik.

Cornelis de Witt semasa hidupnya pernah menjabat sebagai regent di Hollandia dan turut berperang melawan Prancis saat Raja Louis XIV akan memperluas pengaruhnya di daratan Eropa dekat Munster. Dia juga pernah ikut berdinas dalam armada perang Inggris kedua dan ketiga.

Atas saksi palsu Tichelaar dan Van Banckhem, dia dituduh melakukan komplotan untuk membunuh Pangeran Willem III. Akhirnya Cornelis diberikan hukuman pengasingan seumur hidup dari Republik. Sementara, dia ditahan di Gevangenpoort di depan gedung parlemen Den Haag.

Sementara Johan de Witt sebagai anggota dewan penasihat parlemen Republik, adalah negarawan dan politikus besar. Berkat kerja kerasnya, dia berhasil menempatkan Republik pada posisi penting di antara negara-negara besar Eropa Barat, yakni Inggris, Prancis, Spanyol, Swedia, dan Denmark.

Demi keutuhan Republik, De Witt bersaudara cenderung bersahabat dengan Prancis yang di dimana persahabatan itu tidak sesuai dengan kebijakan Willem III karena Prancis dianggap sebagai ancaman yang perlu diperangi. Namun, karena Parlemen menganggap Republik tidak cukup kuat melawan Prancis, De Witt bersaudara menghendaki perdamaian dengan Prancis. Dalam perjanjian rahasianya dengan Cromwell dari Inggris (de Acte van Seclusie 4 Mei 1654) disebut Willem III tidak akan dicalonkan sebagai pemimpin negara Republik.

“De wit bersaudara dia kan aliran ini yang tidak setuju Willem jadi raja pada perjanjian. Oleh karena itu mereka ini akhirnya dibunuh dua-duanya,” ujar dia.

Sejak awal, Johan de Witt memang tidak sepaham dengan kebijakan Willem III. Akhirnya dia minta dipensiunkan. Saat Johan de Witt sakit, Willem III dinobatkan sebagai Wali Republik (Staadshouder der Verenigde Nederlanden).

Pada 9 Agustus 1672, Johan menjenguk saudaranya, Cornelis di tahanannya di Gevangenpoort. Namun, tiba-tiba pasukan penembak terdiri dari 20 orang pimpinan Verhoeff mengepung kamar tahanan tersebut.

Kala itu Johan sedang membaca Alkitab, sementara Cornelis terbaring lemah di tempat tidur karena penyiksaan yang telah dilakukan pada proses pengadilan. Kepala Johan dihantam hingga bercucuran darah. Sontak, Johan kaget lalu berusaha menyelamatkan diri, tetapi ia ditembak oleh anggota pasukan itu.

De Witt bersaudara berhasil dibunuh. Atas perintah Verhoeff, yang pengikut Prinsgezinden, mayat De Witt bersaudara ditelanjangi, diseret, dan digantung dengan kaki di atas.

Mata mereka dicongkel, dada dibelah, jantung mereka dikeluarkan seraya Verhoeff berteriak menyatakan kemenangan atas Prinsgezinden dengan jantung De Witt bersaudara di tangannya. Tidak ada seorang pun yang tahu, sosok Willem III di balik peristiwa ini. Namun, yang jelas taka da seorang pun ditahan atas kematian De Witt bersaudara. Sebaliknya, semua yang terlibat dalam peristiwa itu memperoleh hadiah uang tahunan dan jabatan dari Pangeran Willem III.

Perseteruan ini terus berlanjut hingga sampai Batavia. “Perseteruan itu terus berlanjut, kebetulan Valckenier di Batavia dan Imhoff juga di Batavia saat itu,” kata dia.

Kala itu, Gustaaf Willem Baron van Imhoff sebagai ketua Raad van Indie. Sedangkan Adriaen Valckenier sebagai Gubernur Jenderal. Van Imhoff, memang sering berselisih paham dengan Valckenier.

Kendati Gustaaf Willem Baron van Imhoff dan Adriaen Valckenier berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu Jan Jansz Carel tetap terjadi perseteruan keluarga. Antara kakek Van Imhoff, Jacob Boreel dan kakek Adriaen Valckenier, Mr. Gillis karena keyakinan mereka berbeda. Kakek Van Imhoff pengikut partai pendukung keluarga Oranye (Prinsgezinden) sangat anti terhadap keluarga Valckenier yang anti Oranye (Staatsgezinden).

Sebelumnya, posisi Gubernur Jenderal di Batavia sempat kosong dan diperebutkan oleh Adriaen Valckenier dan Gustaaf Willem Baron van Imhoff. Namun, dalam Dewan Hindia (Raad van Indië) terjadi perebutan pengaruh antara Valckenier dan Van Imhoff. Sehingga tanggal 3 Mei 1737, Dewan Hindia memutuskan Adriaen Valckenier sebagai Gubernur Jenderal dan meremiskan putusan itu pada 28 September 1737. Jabatan tersebut sudah diincar oleh Van Imhoff.

Sejak lima tahun tinggal di Batavia, Van Imhoff merasa tidak ada kecocokan dengan Valckenier. Meskipun keduanya sama-sama duduk dalam Dewan Hindia. Van Imhoff merasa sangat kecewa karena Valckenier yang terpilih. Sebab, dia merasa lebih pantas mendapat posisi itu.

Kedua orang tersebut mempunyai karakter yang sangat berlainan, oleh karena itu mereka sulit untuk bekerja sama. Padahal, mereka seharusnya saling membantu dan bekerja sama dalam memecahkan berbagai persoalan pemerintahan.

Ketidakcocokan mereka mungkin karena masing-masing membawa rasa dendam dan permusuhan keluarga secara turun-temurun. Yang di mana Valckenier pengikut golongan Staatsgezinden dan Imhoff pengikut Prinsgezinden.

“Dari kedua latar belakang dan sikap mereka, dapat dibayangkan saat keduanya menduduki jabatan yang amat penting di Batavia waktu itu. Valckenier sebagai Gubernur Jenderal dan juga pelaksana kebijakan (eksekutif) harus juga memperhatikan putusan-putusan dari Dewan Hindia yang dipimpin Van Imhoff,” jelas dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement