Sabtu 10 Oct 2020 10:11 WIB

Revolusi Industri dan Kapitalisasi Sastra

Kapitalisasi sastra tidak selamanya merugikan kehidupan sastra justru menguatkan.

Ahmad Bahtiar, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Foto: dokpri
Ahmad Bahtiar, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, 

Oleh: Ahmad Bahtiar*

Sapardi Djoko Damono, menjelaskan hubungan sastra dan masyarakat, “Sastra diciptakan untuk dinikmati, dihayati, dan dimanfaatkan masyarakat. Karya sastra tidak jatuh begitu dari langit. Sastra diciptakan pengarang yang merupakan bagian dari masyarakat”.

Individu-individu dalam masyarakat selalu melakukan upaya untuk memperbaiki nasibnya. Mereka selalu berubah, berevolusi dalam berbagai sektor diantaranya industri. Sektor ini strategis karena membutuhkan kapital besar  dan menyerap tenaga  kerja masif.  Industri mengubah banyak aspek termasuk kebudayaan. 

Revolusi industri,  istilah yang dikenalkan tokoh sosialis Friederich Engels dan Loius Auguste Blanqui, terjadi beberapa kali dan menjadi sumber inspirasi pengarang. Selain itu, juga selalu berdampak pada kehidupan sastra. Halnya masyarakat, sastra dalam pandangan A. Teeuw, bersifat dinamis, bergerak dari konvesi, aturan atau norma ke inovasi. Karena itu sastra menggambarkan masyarakat dan menyesuaikan dengan masyarakat pembacanya.  

Masyarakat Inggris  saat revolusi industri banyak diceritakan Charles Dickens,William Makepeace Thackeray, dan lainnya dalam karyanya. Pembaca mereka adalah masyarakat kelas menengah yang semakin banyak karena meningkatnya kemakmuran.

Melihat itu, mesin-mesin pabrik memproduksi sastra dengan cepat dan murah. Sastra menjadi komoditas industri yang menguntungkan. Pemodal mencari penulis dan mencari bahan-bahan yang dianggap selera publik. Karya sastra yang awalnya hanya dibaca kalangan terbatas disederhanakan dan dimasalkan sehingga tersebar di pelosok kota. Bagi Maman S. Mahayana, pengamat sastra, itulah yang melahirkan kebudayaan populer, yang awalnya berangkat dari niat komersil sebagai dampak revolusi Industri. 

Revolusi industri selanjutnya menciptakan wahana baru sastra berkat perkembangan teknologi media. Sastra tidak hanya muncul melalui buku-buku cetak, tetapi melalui koran, majalah, atau buletin. Ketika biaya publikasi semakin mahal dan munculnya hegemoni dalam sastra koran dan majalah, internet pun datang sehingga muncullah sastra cyber. Komunitas-komunitas sastra maya mulai muncul memanfaatkan teknologi seperti mailing list (milis), situs, forum diskusi, dan juga blog.

Internet menawarkan iklim kebebasan, tanpa sensor. Semua orang boleh memajang karyanya, dan semua boleh mengapresiasinya. Setiap orang baik yang sudah ternama maupun belum  berlomba-lomba memuat karyanya ke dalam beberapa situs, blog atau milis sastra. Media-media itu memunculkan karya sastra unik diantaranya fiksi mini, sonian (dikenalkan penyair Sony Farid Maulana), dan haiku (sejenis puisi pendek Jepang). Siapapun dapat membacanya, bahkan mengunduhnya tanpa harus membayar.

Upaya ini beriringan dengan semakin menjamurnya bisnis provider jasa komunikasi yang menawarkan berbagai paket internet yang cepat dan murah. Indonesia adalah pangsa pasar besar sehingga tak heran ungkap seorang linguis, Bambang Kaswanti Purwo, saat ini bahasa Indonesia adalah bahasa terbanyak ketiga di media sosial. 

Karena tidak adanya seleksi naskah, bentuk sastra ini banyak dikritik karena kualitasnya. Sebagai bentuk keniscayaan dari perkembangan zaman khususnya teknologi, sastra ini harus diterima dengan tangan terbuka. Karena itu, menurut penyair Acep Sambodja sastra ini memiliki hak hidup yang sama seperti sastra lainnya.

Pada  era revolusi industri 4.0 sekarang, dengan adanya digitalasi membuat sastra makin memasyarakat. Sastra tidak hanya ditemukan pada buku, koran, majalah, atau buletin tetapi bertebaran  pada status-status di media sosial, meskipun penggugahnya  tidak pernah membaca karya sastra. Kurangnya literasi, membuat mereka asal tempel (copy paste) sehingga tidak hanya salah mengutip tetapi salah menyebut nama pengarangnya. Penulis pemula pun banyak memanfaatkan media sosial sebagai sarana yang murah dan muda untuk mempublikasikan karyanya. Meskipun demikian, para pengarang mapan pun  tak kalah intensnya meramaikan media sosial. 

Pembaca saat ini makin dimudahkan dengan dikembangkannya aplikasi pada gawai (gadget)untuk membaca karya sastra. Untuk menikmati sastra, orang tidak perlu membawa buku novel. Dengan memasang aplikasi tersebut pada gawai orang baik yang daring (on line) maupun yang luring (off line). Beberapa aplikasi tersebut seperti, google play book, innovel, Amazon Kindle, Kobo Books, Free Book Spirit, goodreas, iPusnas, inkit, dan Novelpus. 

Selain itu terdapat aplikasi untuk menerbitkan karya sendiri seperti Wattpad. Media ini selain menyediakan e-book juga terdapat fitur untuk para penggunanya menulis novel, cerpen, puisi dan sejenisnya. Karya-karya itu langsung dipublikasikan di Wattpad. Aplikasi yang berasal dari Toronto, Kanada ini juga mempertemukan komunitas-komunitas yang ada di Wattpad. 

Berkat revolusi industri, sastra tidak hanya  sebagai produk budaya, ia dianggap  “komoditas” yang menjadi alat perputaran modal. Sebagai komoditas, karya sastra sering harus menyesuaikan selera orang banyak. Beberapa orang mengganggap sebagai produk kebudayaan rendah, tidak bermutu. Meskipun demikian, karya tersebut merupakan dokumen sosial yang menggambarkan masyarakat dan kebudayaannya, sehingga banyak pembaca yang memerlukannya. Selain itu, bacaan ini akan selalu ada karena ada pendukungnya, yaitu pengarang, pengayom, dan pembaca.

Oleh karena itu, kapitalisasi sastra tidak selamanya merugikan kehidupan sastra justru menguatkan kehidupan sastra. Sebuah karya sastra dapat diterbitkan dalam jumlah besar dan didistribusikan secara lebih luas dan murah. Penggunaan teknologi percetakan dalam industri memisahkan sastra tradisional dan modern. Dengan modal yang besar, penerbit  dapat memberikan penghargaan yang profesional kepada pengarang sehingga mendorongnya untuk lebih produktif dan kreatif dalam berkarya.

Semakin banyaknya media sastra, memberi peluang siapa pun untuk menulis sastra. Mereka yang berminat menulis tidak perlu mengantre dan mengeluarkan ongkos agar karya-karyanya dibaca orang lain. Meskipun demikian karya-karyanya itu mampu melintas batas-batas wilayah tanpa harus khawatir mendapat penolakan. Karya-karya yang dipublikasikan di media sosial bisa singkat, bisa juga tanpa batas halaman.

Para pembaca diuntungkan dengan semakin banyak pilihan dalam mendapatkan karya sastra. Jutaan karya dapat dibaca hanya dengan membuka gawainya kapan pun dan di mana pun tanpa harus membawa bentuk cetaknya. Beberapa karya tersebut bahkan dapat dibaca tanpa harus mengeluarkan biaya. Untuk cerita-cerita bersambung, mereka tidak harus menunggu bulanan atau tahunan, karya-karya dipublikasi di aplikasi dapat terbit mingguan karena tidak ada proses percetakan dan distribusi yang panjang. 

*Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement