REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nikmatus Sholikah (Nicmah), Presiden Komunitas Jurnalis Berhijab (KJB) Indonesia.
Munculnya pendemi Covid-19 di Wuhan, China sejak Desember 2019 lalu dan mendunia memberi pukulan keras bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk bagi jurnalis yang menjadi garda terdepan penyampai informasi. Para jurnalis harus tetap jungkir balik melakukan peliputan dengan berbagai kondisi, meskipun taruhannya adalah kesehatan dan keselamatan diri di masa Covid-19. Dalam hal ini ada dua hal yang patut di perhatikan adalah permasalahan pola tekanan kerja jurnalis dan guncangan bisnis perusahaan media (3/10/2020).
Jurnalis merupakan profesi yang menantang dan penuh risiko, tetapi munculnya pendemi Covid-19 menambah rentetan beberapa masalah baru yang harus dihadapi oleh para jurnalis, salah satunya adalah tekanan psikologis. Dari hasil survei persepsi diri wartawan di masa pendemi COVID-19 yang dilakukan oleh Center of Economi Development Study (CEDS) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Padjajaran menunjukan kabar yang tak baik.
Survei yang dilakukan periode 2-10 April dari berbagai daerah di Indonesia menunjukan 45,92 persen wartawan mengalami gejala depresi, 57,14 persen wartawan mengalami kejenuhan umum. Gejalanya adalah ketakutan, tidak bisa tidur, merasa tertekan dan sulit berkonsentrasi.
Hal tersebut terjadi karena mereka harus meliput berbagai berita negatif, seperti banyaknya orang yang terpapar Covid-19, kematian pasien corona dan berbagai tragedi di masa pendemi. Para jurnalis wajib menjaga kesehatan metal mereka untuk mengatasi hal tersebut, agar tidak membawa dampak mayor bagi para jurnalis.
Permasalahan lain yang muncul dan membuat para jurnalis harus jungkir balik adalah kejenuhan tema berita yang diangkat akan selalu berhubungan dengan Covid-19. Para jurnalis menjadi sulit untuk memainkan angle berita yang dinamis, karena mereka harus selalu meliput perkembangan kasus Covid-19 dari hulu hingga hilir, hal ini juga membawa dampak kejenuhan bagi publik. Sehingga untuk menarik minat publik, para pekerja media harus cermat memainkan angle menarik yang berbeda dari media lain. Salah satunya adalah melakukan peliputan yang menyentuh nilai human interest atau nilai kemanusiaan seperti terobosan-terobosan inspiratif yang dilakukan masyarakat untuk mengatasi dampak Covid-19.
Kemudian kondisi ketidakjelasan dan ketimpangan data Covid-19 dari pihak pemerintah pusat dan daerah serta beberapa lembaga lainnya menambah permasalahan baru bagi kualitas berita para jurnalis. Perbedaan data ini harus bisa dicermati dan diolah dengan tepat oleh jurnalis sebelum diinformasikan kepada publik.
Salah satu solusinya adalah jurnalis harus aktif melakukan cek dan ricek data secara berulang antar lembaga dan instansi pemerintah serta melibatkan para pakar atau untuk melengkapi data. Jurnalis harus menggali lebih banyak informasi dari sudut pandang para ahli agar data yang disampaikan menjadi lebih memiliki nilai dan berbobot.