REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Imbauan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim agar kampus menyosialisasikan RUU Cipta Kerja (Ciptaker) dinilai penuh kontradiksi. Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) bahkan menilai kebijakan itu melanggar kebebasan akademis.
Koordinator P2G Satriawan Salim mengatakan, imbauan agar kampus ikut mensosialisasikan UU Cipta Kerja justru mengandung kontradiksi yang mendalam, sebab draf final UU Ciptaker saja tak bisa diakses oleh kalangan akademisi, aktivis masyarakat sipil, bahkan oleh publik umumnya hingga sekarang.
"Apalagi ditambah keterangan DPR jika draf tersebut belum final, lantas yang disahkan ketika sidang Paripirna itu apa? Terus apanya yang harus disosialisasikan oleh Universitas?" ujar Satriawan dalam pesan yang diterima Republika.co.id, Ahad (11/10).
Ia mengingatkan, Kemendikbud sudah membuat program "Merdeka Belajar" dan "Kampus Merdeka" yang menjadi slogan dimana-mana. Tapi, surat yang dikeluarkan Kemdikbud agar kampus menyosialisasilan RUU Cipta Kerja ini merupakan bentuk "intervensi" nyata Kemendikbud, sehingga menjadikan kampus tidak lagi merdeka.
"Akhirnya kampus merdeka tak ubahnya sekadar jargon kosong, di saat Kemendikbud mencabut kemerdekaan akademik universitas sebagai lembaga yang berfungsi mengembangkan nalar kritis, ini adalah bukti bahwa kebijakan Kemendikbud kontradiktif," kata dia.
Di satu sisi, lanjut Satriawan, Kemendikbud membuat kebijakan Kampus Merdeka, namun di sisi lain memasung kemerdekaan kampus dalam menjalankan fungsi kritisnya sebagai wujud Kampus Merdeka.
Menurut Satriawan, kampus sudah semestinya menyiapkan para generasi muda yang berperan sebagai intelektual organik, intelektual yang senafas dengan rakyat, betul-betul merasakan apa yang dirasakan para buruh, masyarakat adat, aktivis lingkungan, dan lainnya yang merasa dirugikan UU Ciptaker ini. Apalagi, mestinya mahasiswa belajar tak hanya di ruang kuliah yang terbatas tembok.
"Ruang kuliah sesungguhnya para mahasiswa adalah lingkungan masyarakat itu sendiri, mengikuti aksi demonstrasi adalah bagian dari laboratorium sosial mahasiswa sebagai agen perubahan. Menjauhkan mahasiswa dari rakyat, sama saja menjauhkan ikan dari lautan luas," kata Satriawan.
Di samping itu, lanjut Satriawan, dalam hal menginstruksikan para dosen senantiasa mendorong mahasiswa melakukan kegiatan intelektual dalam mengkritisi UU Ciptaker, justru kritik itulah yang tengah dilakukan mahasiswa melalui aksi turun ke jalan. Itu merupakan wujud aspirasi dan ekspresi mereka terhadap langkah-langkah DPR dan Pemerintah yang abai terhadap aspirasi mereka bersama rakyat lainnya.
"Semestinya Kemendikbud memberi apresiasi kepada para mahasiswa yang sedang melakukan aktivitas kritisnya kepada DPR, karena demikianlah tugas seorang inetelektual. Pastinya aksi demonstrasi yang tidak merusak fasilitas umum misalnya," ujar Satriawan.
P2G berharap Kemendikbud tak usah alergi dengan kekritisan para mahasiswa dan dosen terhadap UU Ciptaker ini. Demonstrasi semua merupakan wujud kebebasan akademik, di mana Kemendikbud tak seharusnya mengekang. Lagipula kampus punya otonomi yang mesti dihargai Kemendikbud.
Satriawan menambahkan, munculnya reaksi para mahasiswa, buruh, dan kalangan sipil lainnya terhadap UU ini membuktikan, jika pemerintah dan DPR tidak transparan dalan proses pembuatannya. Juga tak membuka ruang dialog, dan partisipasi kepada masyarakat sebagaimana ciri utama negara demokrasi.
"Para mahasiswa sesungguhnya sedang menunaikan tugasnya sebagai kelompok intelektual yang tak berjarak dengan rakyat. Kemdikbud hendaknya paham jika kampus itu bukan lembaga tukang stempel," ujarnya menambahkan.